Waalaikumsalam, Calon Imam!

73 8 2
                                    

Jika ada yang bilang setiap permulaan itu sulit, ternyata hal itu tidak berlaku saat mengagumi sosok putra Abah Faqih itu. Di mana letak kesulitannya, jika dengan menatapnya sekilas saja cukup mengundang debar tak biasa dalam dada?

Kenapa gak sejak awal aku bertemu dengannya? Gus Dafa ternyata memang memesona. Benar yang dikatakan oleh para santri sejak lama. Pantas saja mereka begitu memuja dan tak henti membicarakannya.

"Ayatul Faizah." Ya Allah, apakah aku sedang bermimpi? Kenapa rasanya Gus Dafa memanggil namaku?

"Ay!" Azizah menyenggol tanganku yang sedang menopang dagu dengan keras hingga hampir saja janggut mulus ini mendarat di meja.

"Apa, sih, Ziz. Ganggu orang day dreaming aja, deh," keluhku.

"Ayatul Faizah."

"Dalem, Gus. Pripun?"

"Gus?" Ustaz Hasan menatapku dengan alis menyatu. Spontan aku mengangkat kitab di meja untuk menutup wajah akibat malu. Astaghfirullah, haluku benar-benar membawa petaka.

Azizah teman sebangkuku terkikik geli. Asem banget dia. Ingin rasanya aku menghilang. Kelas masih riuh akibat perbuatanku. Rasanya malu bukan kepalang.

"Aya, jangan kebanyakan ngelamun." Ustaz Hasan menasehati.

Aku menegakkan badan kemudian memasang senyum terbaik usai berdeham.

"Maaf, Ustaz."

"Sekarang coba baca kembali kitabmu yang sudah saya jelaskan barusan." Senyumku seketika lenyap. Tet tot! Modyar! Ambyar! Kulihat kitab di hadapan masih bersih tanpa ada goresan makna gandul di sana. Ya Allah, ke mana saja aku dari tadi? Sibuk berhalu berakhir malu.

Semua mata memandang ke arahku seakan berkata 'kapok'. Namun, bukan Aya namanya jika tidak bisa menunjukkan kebolehannya. Nakal boleh, piawai juga harus. Tengil boleh, pelajaran tetap harus bisa.

Dengan wajah tanpa dosa aku membaca  barisan kalimat arab yang masih kosong maknanya. Kubaca tanpa makna dengan lancar.

Tok! Tok! Tok!

Ustaz Hasan mengetuk penghapus di meja dengan keras. Aku pun menghentikan bacaan ngawur kitab di hadapan.

"Maju sini! Bawa kitabnya ke depan!"

Azizah mendorong tubuhku agar segera maju menuruti perintah Ustaz Hasan. Bisik-bisik dari para santri lain pun mulai terdengar. Aku menjulurkan lidah pada mereka pertanda tak takut dan tak peduli.

Kuserahkan kitabku yang terbuka di hadapan Ustaz Hasan dengan memasang senyum tanpa dosa. Beliau menatapku sekilas kemudian menggeleng pelan seraya berdecak.

"Kamu kok ya bisa nglamun di jam saya? Apa saya ngajarnya membosankan? Hmm?" Spontan kedua tanganku terangkat berisyarat menolak.

"Astaghfirullah, mboten, Taz! Estu. Kulo namung nganu ... aduh, nopo njih, nganu niku loh. Mm, pokoke jenengan ngajare ngeten kok, Taz."¹ Kuacungkan jempol padanya dengan senyum kecut.

"Lalu, kenapa dari tadi melamun? Kitab juga kosong melompong kayak gini. Sebentar lagi kenaikan kelas lo." Beliau menuturkan nasehatnya. Seketika aku menunduk menyadari kesalahan yang baru saja terjadi.

"Belajarnya yang lebih tekun, ingat orangtua di rumah, mereka pasti menginginkan anak-anaknya berhasil jika sudah keluar dari pesantren. Jangan sia-siakan waktumu selama di sini dengan hal yang merugikan." Semua santri terdiam, tidak ada suara kasak-kusuk sama sekali. Hening.

"Saya paham, masa kalian ini adalah masa pencarian jati diri, masih labil. Tetapi, coba gunakan waktu dan masa kalian ini untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat." Ustaz Hasan memang salah satu ustaz idola di kelas Diniyah. Nasehatnya seringkali mengena di hati.

Gus Dafa (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now