Sang Pemilik Pesan

50 9 14
                                    

[Ayatul Faizah. Bolehkah aku merindukanmu, Nduk?]

'Nduk?'

Sejak kapan dia mulai memanggilku dengan sebutan itu? Mataku tak berkedip menatap pesan tertanggal enam bulan yang lalu. Degup jantungku perlahan ritmenya semakin cepat. Jika kuhitung mundur, saat itu adalah di mana aku benar-benar ingin belajar melupakannya?

Kenapa baru sekarang dia mengatakan rindu? Kenapa saat dia sudah menjalani bahtera rumah tangga selama bertahun-tahun justru dia merindukanku? Apakah dia tidak bahagia dengan hidupnya?

Kugulir kembali layar yang menampilkan pesan pendek secara beruntun dari Gus Dafa.

[Aya, kamu baik-baik saja, kan?]

[Ay, apakah kamu membenciku?]

[Balas pesanku, Ay.]

Puluhan pesan darinya menumpuk sejak dua tahun lalu.

Barisan pesan-pesan singkat itu seakan melempar ingatanku saat masih sering bertukar kabar dengannya ketika aku melanjutkan studi di salah satu kampus di Banyuwangi kota.

Dulu, tanpa malu aku meminta nomor WhatsApp-nya saat bertemu di kantor madrasah saat pengambilan ijazah. Tanpa sungkan juga aku mengirim pesan terlebih dahulu padanya. Apakah saat itu langsung direspon olehnya? Jawabannya adalah tidak. Tetap saja dia sok cool, tetapi bagiku itu menggemaskan.

Namun, lambat laun mungkin dia mulai terbiasa dengan pesan-pesan yang selalu kukirim setiap pagi atau pun malam.

[Gus, jenengan gak pengin ketemu saya atau rindu gitu?] tanyaku saat itu.  Jika mengingatnya saat ini begitu memalukan tingkahku. Bisa-bisanya aku melakukan hal konyol tersebut.

[Kamu itu harus fokus belajar. Gak usah mikir kemana-mana. Apalagi mikir saya kangen sama kamu.] Aku terkikik geli membaca jawaban pesannya tersebut.

[Ya udah, kalau gitu tak doakan biar jenengan kangen terus sama saya.] balasku dengan menahan tawa.

[Emang gimana doanya?]

[Allahumma, mugo-mugo Guse kangen terus kaleh Kulo. Jenengan ijabah ya Allah. Aamiin.]

Emot ngakak seketika masuk di roomchat  saat pesanku sudah centang biru.

Tak lama setelah itu satu pesan masuk kembali. Sebuah pesan yang hingga saat ini selalu kuamalkan. Entah apa maksudnya dulu Gus Dafa memberi amalan itu padaku karena tiap kali  bertanya dia hanya mengatakan jika itu untuk kebaikan hidupku.

[Amalkan saat sebelum istirahat malam ya,

Tawasul kepada Kanjeng Nabi kemudian khususkan Fatihah buat dirimu sendiri, lalu buat orang yang kamu kasihi, kemudian baca surat An-Nur.']

Kubaca berulang kali pesan tersebut, meskipun tak paham maksudnya, tapi aku yakin itu pasti bermanfaat untukku.

[Kalau fatihahnya buat jenengan boleh, to? Katanya orang yang dikasihi.]

[Terserah kamu.] Jawaban singkatnya begitu menggemaskan. Jika membaca pesannya seketika membayang wajah cuek putra Abah Faqih tersebut.

[Jenengan gak mau dikasihani?]

[Gak]

[Ya udah deh, kasihhati] Tak ada lagi balasan darinya.

Kilasan kejadian itu begitu membekas di ingatan. Andai waktu bisa diputar kembali, aku tak ingin dia pergi dariku saja.

Ya Allah, rasanya semua ini seakan membuka kenangan lama yang sudah sempat terkubur. Membaca pesan dari lelaki itu seakan kembali membayang wajahnya di pelupuk mata.

Gus Dafa (Sudah Terbit)Onde histórias criam vida. Descubra agora