LATE MESSAGE

44 4 0
                                    

"Piye, Nduk?" Aku bergeming mendengar pertanyaan ibu yang sudah ke sekian kalinya tentang kesediaanku untuk menerima pinangan dari sepupu salah satu Pakdeku.

"Semua keputusan tetap ada di tanganmu, Nduk. Bapak sama ibu tetap akan memberimu kesempatan untukmu berpikir." Bapak menambahi penjelasan ibu. Sudah sejak setengah jam yang lalu kami berbincang perihal kedatangan Pakde.

"Pak, bukan Aya ingin mengecewakan Bapak atau Ibu, tetapi menurut Aya, menikah dengan seseorang yang masih ada hubungan persaudaraan jika nanti ada sisi jeleknya, andaikata kalau ternyata Aya itu mengecewakan, yang bakal kena malu siapa? Bapak dan ibu juga kan?" Aku mencoba mencari alasan untuk tidak melanjutkan obrolan ini.

"Anggap saja budemu itu orang lain, kalau bukan menikah dengan pakdemu, dia orang lain bukan?"

"Tapi kenyataannya dia menikah dengan pakde, Bu." Betapa tidak logis alasan ibu menurutku.

"Lalu kamu mau cari yang gimana lagi, Nduk? Apa kamu punya pandangan lain? Apa kamu sedang menunggu orang lain? Katakan pada kami, Nduk. Agar kami bisa menjawab semua tanya yang terlontar dari mulut para tetangga, dari saudara." Pipi ibu sudah basah dengan air mata. Ya Allah, apakah aku telah menyakitinya terlalu dalam?

"Sampai salah satu budemu menganjurkan untuk memandikanku dengan air tujuh sumber dengan kembang tujuh rupa." Mataku terpejam seraya merapal istighfar.

Konon, ada yang mengatakan jika seseorang yang sulit mendapatkan jodoh, dianjurkan untuk melakukan ritual tersebut untuk menghilangkan kesialan. Entah aku juga tidak tahu perihal ritual tersebut. Namun, salah satu temanku juga sempat mengatakan hal tersebut padaku. Tapi, yang pasti aku meyakini jika itu adalah salah satu hal untuk kebaikan meskipun mungkin di mata orang lain itu aneh dan dianggap tidak masuk akal.

Bukankah sudah dijelaskan dalam kaidah fiqhiyah, innamal a'malu binniyat, segala sesuatu berdasarkan niatnya. Jika niatnya saja sudah tidak benar hasilnya pun pasti tidak akan baik.  

Apakah aku terlihat semengenaskan itu? Apakah jomlo dan belum mendapatkan jodoh di umur 25 adalah aib? Aku tidak habis pikir dengan pandangan orang lain yang menganggap umur adalah satu patokan untuk sebuah pernikahan. Padahal di luaran, masih banyak orang yang menikah di atas umur 25.

Namun, aku harus kembali menyadari. Di mana aku tinggal, bagaimana masyarakat sekitar. Adat yang berlaku di tempat ini seperti apa, aku harus memakluminya.

"Kamu dengar sendiri bukan beberapa waktu lalu saat Bek Nah mengatakan jika kamu itu bisa saja dipatok sama seseorang, yang mungkin sakit hati sama kamu. Sehingga kamu sulit mendapat jodoh," ucap Ibu dengan nada menyayat hati. Tangisnya semakin menjadi.

"Istighfar, Bu." Bapak mencoba menenangkan Ibu dengan mengusap pundaknya perlahan. Aku merasa serba salah dengan keadaan ini. Menerima permintaan ibu untuk dijodohkan adalah hal berat, terlebih masih ada hubungan saudara. Sudah sejak seminggu lalu pakde dan Bude dari Ibu beberapa kali datang ke sini saat aku masih di sekolah.

Seringkali aku mendengar istilah ini. Jika ada perempuan yang umurnya sudah terlewat dari umumnya orang menikah, banyak sekali kasak kusuk yang mengatakan jika dia dipatok. Dihalang-halangi agar sulit jodohnya. Sedangkan aku tidak percaya dengan hal itu. Aku masih memiliki rasa cinta pada seseorang, meskipun dia tak mungkin lagi kumiliki. Ah, Gus. Kenapa rasanya sulit sekali menghapus namamu dari sanubari? Andai rasa ini bersambut, mungkin aku tidak perlu merasakan lara seperti ini.

"Bocahe ki wis mapan, Nduk. Penggawean ya wis maton. Budemu yo bakal ngusahakne sampean ngko bakal dadi guru negeri lak gelem karo adike." Ibu masih melanjutkan rayuannya padaku. Kembali aku beristighfar dalam hati. Bapak masih tetap mengelus pundak Ibu menenangkan.

Gus Dafa (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now