Mother's Hope

41 7 8
                                    

Aku masih berbenah dan membereskan meja saat semua guru sudah pamit meninggalkan ruangan. Salma pun pamit  pulang lebih dulu karena ada acara keluarga. Tinggal aku dan petugas tata usaha dan operator, Pak Ali.

Sejak kukatakan alasan keinginan untuk sendiri dulu pada Salma beberapa waktu lalu, aku merasa hatiku lebih membaik. Aku tidak ingin berurusan dengan yang namanya cinta pada lain jenis. Fokus memperbaiki diri dan mengajar para siswa.

"Bu Aya!" panggil Pak Ali saat aku baru beranjak beberapa langkah dari meja guru. Lelaki muda yang umurnya dua tahun di bawahku itu terlihat bergegas berjalan ke arahku.

"Ada apa, Pak?" tanyaku saat dia sudah berada di hadapanku. Dia menatapku sesaat.

"Bu Aya ada waktu sebentar? Saya ingin bicara." Aku mengernyit. Tidak seperti biasanya lelaki di hadapanku ini terlihat serius. Tanpa berpikir panjang aku pun mengangguk mengiyakan ajakannya.

"Tapi tidak di sini, Bu. Kalau jenengan berkenan kita bicara di luar sekolah," tawarnya. Aku tak berpikir macam-macam tentangnya.

"Ya ... monggo kalau begitu." Pak Ali mengangguk kemudian memintaku untuk berjalan lebih dulu.

Sebuah warung bernuansa alam yang terletak di bekas area persawahan menjadi pilihan Pak Ali untuk mengajakku berbicara. Entah hal apa yang ingin dia bicarakan aku tak mau pusing memikirkan hal tersebut.

Terlihat beberapa pengunjung yang sedang menikmati makanan. Warung yang dibangun belum begitu lama ini lumayan ramai. Didukung dengan menu makanan khas Banyuwangi yang menggiurkan lidah. Harganya juga lumayan terjangkau. Beberapa kali aku mampir di tempat ini dengan Salma jika ada waktu luang.

Warung yang dikonsep bernuansa alam ini menyuguhkan pemandangan yang begitu asri. Kita dapat menikmati semilir angin dari pesawahan yang menghijau, bebungaan yang ditata rapi di sekitar gazebo pun turut serta menambah keasrian tempat ini.

"Bu Aya sering ke sini?" tanya Pak Ali membuka percakapan saat kami sudah memilih tempat yang cocok untuk mengobrol. Aku mengangguk.

"Maaf ya, Bu. Saya menyita waktunya jenengan."

"Gak apa-apa, Pak. Jika memang penting saya tidak masalah," jawabku sesopan mungkin.

Seraya menunggu makanan tiba, kami mengobrol ringan membicarakan tentang persiapan untuk ujian kelas tiga. Terkait pendataan dan laporan ke Diknas dan lain sebagainya. Dipercaya sebagai Waka Kurikulum membuatku harus banyak belajar.

"Bu, saya ingin mengatakan sesuatu pada jenengan. Tapi, jenengan jangan tersinggung atau marah dengan saya." Lelaki yang memakai seragam batik Gajah Oling sama dengan yang kukenakan itu menghela napasnya sesaat ketika mengatakan hal tersebut. Mimik wajahnya terlihat serius.

"Permisi, pesanan atas nama Ali Habibi." Seorang petugas pramuniaga yang mengantar pesanan kami menjeda obrolan yang mulai serius. Usai menata makanan dan minuman di meja, pria bername tag Wahyu tersebut meninggalkan kami berdua.

"Minum dulu, Bu," ujar Pak Ali seraya menunjuk minuman di hadapanku. Segelas jus alpukat yang diblender tidak terlalu lembut. Salah satu buah yang bisa kunikmati jika diolah menjadi minuman seperti ini selain guava.

"Bu Aya belum berkeinginan untuk menikah?" Aku tersenyum. Sepertinya lelaki di hadapanku ini mulai menggiring obrolan menuju ke arah itu. Aku berdeham sebelum menjawab pertanyaan yang seringkali kudengar dari para tetangga.

"Untuk saat ini belum, Pak. Saya masih ingin fokus memperbaiki diri. Ingin fokus mengajar. Mungkin satu atau dua tahun ke depan." Dia terlihat menghela napas perlahan.

"Apakah ibu pernah trauma hingga seakan menutup diri untuk tidak jatuh cinta? Maaf, Bu, saya cuma ingin tahu saja. Ibu boleh tidak menjawabnya jika tidak berkenan." Aku menggeleng. Dia terlihat berhati-hati menanyakan hal tersebut padaku.

Gus Dafa (Sudah Terbit)Onde histórias criam vida. Descubra agora