47. RAHASIA YANG TERUNGKAP

166 38 31
                                    

"Kenapa nggak ada yang bangunin gue, sih? Gue juga mau bilang makasih sama pendonornya," seru kesal Hastra berikut dengan napasnya yang terengah-engah. Lalu melirik sekilas jenazah yang ada di sampingnya. Tubuh kaku yang kini hanya bisa diam tak bergerak di baringannya.

Hastra cukup kaget ketika bangun. Seorang suster yang kebetulan masuk ke ruangan untuk memeriksa keadaan Hera mengatakan, kalau hari ini ia sudah diperbolehkan bertemu dengan pendonor ginjal dan hati untuk Kiyara dan Hera. Hastra yang begitu girang langsung bangkit dari duduknya, meninggalkan Hera yang masih pulas dalam tidurnya.

Sesampainya Hastra di ruangan jenazah, raut wajah Bens dan Heksa tampak sangat berduka. Entah karena mereka terlalu menyayangkan kematian si pendonor, atau mungkin ada hal lain yang membuat keduanya terdiam dengan wajah basah. Hastra melihat selembar kertas di tangan Bens, mata laki-laki itu berkaca-kaca saat membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di sana. Yang kemudian membuat hati Hastra merasa tidak enak.

Hastra mencoba menormalkan pernapasannya, sebab berlari ke ruang jenazah cukup membuat tenaganya terkuras dan napasnya ngos-ngosan. Namun ia penasaran mengapa Bens dan Heksa masih dalam hening yang sama. Hingga Hastra pun menatap Bens, memperlihatkan kejengkelan di wajahnya. "Bang, hal apa yang bikin lo kurang berkenan sampe hampir netesin air mata di sini? Apa kehadiran gue bikin lo nggak nyaman di sini?" tanya Hastra, masih belum mengerti apa-apa.

Pagi ini udara cukup sejuk ketika dihirup, suasana tenang membuat hati siapa saja merasa nyaman. Mimpi yang buruk telah berlalu kemarin, namun rupanya masih ada satu rasa sakit lagi yang membuat banyak orang merasakan duka yang mendalam hari ini.

"Pa!" tegur Hastra tegas pada Heksa, saat Bens tak kunjung merespon pertanyaannya. Heksa hanya mampu menundukkan kepalanya ketika teguran Hastra mengetuk gendang telinganya. "Kenapa Papa diem aja? Hastra berhak tau apa yang sebenarnya terjadi. Pendonornya punya penyakit menular?"

"HASTRA! JAGA BICARA KAMU!"

Suara keras dan lantang Heksa menggema di ruangan. Hastra tersentak setelah dibentak oleh ayahnya, ia benar-benar tidak mengerti apa yang membuat ayah dan kakak laki-lakinya menjadi sesensitif saat ini. Jika saja mayat-mayat itu masih hidup, mereka mungkin akan terkejut dengan bentakan Heksa barusan. Kali ini ayah dan anak itu bertatapan dalam rasa yang berbeda. Heksa dengan air mata dan kemarahannya, sementara Hastra dengan rasa bingungnya.

"Salah gue dimana, sih? Gue, kan, cuma nanya! Tiap tanya yang gue ajuin nggak mendapatkan jawaban apapun. Itu bikin gue kesel dan pikiran buruk berkeliaran di kepala gue!"

Masih saja dua orang yang Hastra tanyai mengunci bibir, padahal Hastra sudah tidak tahan akan rasa ingin tahunya tentang apa yang membuat Heksa dan Bens bermuram muka.

Bens menatap adik laki-lakinya dengan tatapan tegar namun ada sesuatu di balik matanya. "Lo seharusnya berterimakasih sama pendonor ini, Tra. Bukannya malah nuduh dia yang enggak-enggak. Tanpa dia, belum tentu Hera sama bunda masih bisa napas hari ini!" ujarnya sedikit emosi namun masih bisa setenang air, menatap jenazah yang seluruh tubuhnya ditutupi kain putih.

Hastra mendelik tajam pada Bens. "Bukan perihal gue harus terimakasih atau enggaknya, Bang. Gue berhak tau apa yang kalian sembunyikan dari gue! Apa yang bikin lo sama papa bisa netesin air mata di sini?" Pikiran Hastra semakin kacau saat jawaban tak kunjung ia dapatkan.

"Masalah rumah kasih lagi?"

"Atau karena Bang Hasta nolak untuk balik ke rumah karena mama sama gue?"

Mendengar pertanyaan tak sabaran Hastra, Bens berinisiatif maju mendekati adiknya. Berhadapan dengan pemuda yang usianya tidak terpaut jauh darinya. Bens menepuk pundak Hastra dengan kepalanya yang perlahan tertunduk. Bens mencoba menguatkan Hastra terlepas dari apa yang harus ia dengar nantinya.

Bens Wulan 2020Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang