37. PERKEMBANGAN

249 47 6
                                    

Hari kemarin berlalu, digantikan oleh hari ini. Tak banyak yang berubah, hari ini pun masih terasa sama termasuk emosi dari setiap makhluk bumi. Salah satunya makhluk berjenis kelamin laki-laki di hadapan Wulan, yang menyeretnya ke Green House tanpa permisi. Ia bahkan tak peduli bagaimana siswa SMA Gemilang memandanginya disepanjang perjalanan. Wulan tahu itu, Bens mencoba menahan emosinya yang telah membumbung.

Perihal ungkapan perasaan semalam, menjadi penyebab utama mengapa Bens mendiamkannya hingga saat ini. Akan tetapi, Wulan tak ingin membuat keadaan semakin sulit, untuk itulah ia memasrahkan diri. Menunggu kapan Bens siap berbicara dengannya. Sudah berlalu lima menit, Wulan masih diam memperhatikan Bens yang tampak gelisah di kursinya.

Bens menyatukan telapak tangannya, lalu menyangganya dengan siku di atas meja. Punggungnya ditarik ke depan, menatap Wulan dengan serius. "Gue nggak habis pikir kenapa Crisya tega ngelakuin ini sama bunda, dan juga orang-orang nggak bersalah di Rumah Kasih," ungkap Bens, mengundang tanda tanya besar di kepala Wulan. "Dia bikin bunda masuk rumah sakit. Dan sebelumnya, dia udah melakukan teror dengan ngerusak toko bunga. Berkali-kali hal yang sama terjadi, titik masalahnya pun masih sama. Heksa. Kecemburuan Crisya menyebabkan orang-orang di sekitar Heksa celaka, terutama gue sama bunda. Untuk memuluskan rencananya, Crisya memanfaatkan keadaan Rumah Kasih dan hubungan pelik antara gue sama Heksa."

Melihat kemarahan yang mati-matian Bens sembunyikan, Wulan menelan ludahnya kuat-kuat. "Bens, maksud lo apa? Ketakutan macam apa yang berhasil bikin lo sekhawatir ini? Dan masalah apa yang mampu bikin lo semarah ini sama Tante Crisya?" tanya Wulan terus terang, ia tak mengerti mengapa Bens menceritakan hal itu kepadanya.

"Keadaan tambah rumit saat gue tau Crisya udah nggak ada di rumah, Lan. Dan kabar terburuknya, dia udah bawa surat-surat Rumah Kasih, dia nyuri itu dari si bodoh Heksa!"

"Bens, dia itu papa lo," protes Wulan. "Kenapa lo nggak berdamai aja sama papa lo, dengan itu, semua akan jadi lebih baik."

"Dan gue akan kehilangan lo, Lan. Lo akan dipaksa pergi dari kehidupan gue, gue akan kehilangan segala hal yang udah gue perjuangkan selama bertahun-tahun. Dan kejadian yang sama juga akan gue alami karena Heksa."

Wulan menelan ludahnya, Bens tampak telah memikirkan segalanya perihal apa risiko dari setiap keputusannya. Laki-laki itu tak pernah mengambil keputusan asal-asalan, dia mempertimbangkan segalanya dan terus memikirkan orang-orang di sekitarnya.

Tatapan Wulan berubah sok tegar, padahal ia sedang ketakutan. Satu-satunya orang tempat ia menggantungkan harapan, kini memiliki ketakutan yang sama dengannya. "Gue akan bertahan semampu yang gue bisa, Bens," lirih Wulan dengan mata berkaca-kaca.

Namun cowok itu hanya berdecih, kemudian membuang muka. "Lo nggak akan pernah bisa bertahan dibawah tekanan Heksa. Selain Heksa, lo juga akan ditekan sama status dan kehidupan masa lalu lo sebelum ketemu sama gue. Apa hal ini nggak pernah terlintas di kepala lo, Lan? Lo dengan mudah maksa gue untuk balik ke kehidupan suram gue, sementara gue mati-matian berjuang untuk segera lepas dari sana. Lo mau gue bernasib sama kayak Heksa sama keturunannya?"

Air mata yang sudah tak kuasa dibendung akhirnya luruh juga, Wulan menggeleng, menyatakan bukan itu maksud ucapannya. Dia sama sekali tidak ingin kehilangan, apalagi menyaksikan orang yang dicintainya menderita.

"Bens, lo tau bukan itu maksud gue. Gue cuma nggak mau lo sama bunda kenapa-napa, apalagi ini menyangkut Rumah Kasih, teman-teman lo, kehidupan yang akan lo jalani selanjutnya, masa depan lo, gue ngerasa lo nggak perlu bareng-bareng gue lagi. Lo punya kehidupan yang tetap dan akan lo jalani kedepannya, selama ini lo cuma lari dari masalah. Dan sekarang, lo dipaksa untuk ngadepin semuanya meskipun lo harus kehilangan gue!"

Tumpahnya air mata berbarengan dengan rasa sakit yang tertancap dalam di ulu hati. Tak ada yang mampu melawan takdir namun bukan berarti kita hanya bisa memasrahkan diri, kita perlu berjuang meskipun harus mengorbankan banyak hal. Waktu, usia, cinta, bahkan nyawa sendiri pun bisa jadi taruhannya. Itulah yang Wulan maksudkan, ia tak ingin menjadi penghalang bagi Bens untuk mengakhiri perjuangannya. Ia sudah tak ingin jadi beban, namun rasa sayang dan cintanya terhadap pemuda itu, tak akan pernah berakhir meski di embusan napas terakhir.

Bens Wulan 2020Where stories live. Discover now