35. DARAH DAGING

197 34 8
                                    

Satu jam sudah berlalu namun keheningan masih terus membelenggu. Kiyara terbangun sebentar setengah jam lalu, ia memalingkan wajahnya dari Heksa kemudian menatap Bens dengan air mata mengalir. Setelahnya Kiyara kembali tertidur, dibawah pengaruh obat tidur yang diberikan dokter agar Kiyara bisa beristirahat. Jika Heksa tak meminta hal demikian, maka Kiyara akan banyak berpikir, mengamuk, lalu memilih kabur dari rumah sakit.

"Saya sebenarnya sayang sama Kiyara."

Pengakuan tak mendasar itu bagai petir yang menyambar dua pasang telinga, membuat Wulan menoleh pada Heksa. Memperlihatkan tatapan bingung. Sementara Bens memilih bungkam, tetap di kursinya sembari menggenggam tangan Kiyara. Ia memilih pura-pura tuli, enggan menanggapi perkataan ayahnya yang hanya akan membuat darahnya mendidih.

"Setelah Kiyara dan kamu keluar dari rumah, saya baru merasakan kehilangan. Ternyata yang berharga bukan perihal cinta semata, yang istimewa bukan hanya yang terlihat saling mencinta. Tapi pengorbanan. Pengorbanan besar Kiyara yang membuat saya jatuh cinta sama dia, Hasta. Bunda kamu merelakan segalanya demi kepentingan orang tuanya, kemudian dipertemukan dengan saya. Tapi saya terlambat menyadari semuanya, sehingga ketika Kiyara pergi, saya baru merasakannya. Kiyara sama kamu, berharga dan istimewa untuk saya."

Heksa masih saja berbicara panjang lebar walau tak ditanggapi oleh Bens. Sejenak, Heksa menatap monitor yang ada di sebelah ranjang Kiyara. Ia tak sanggup membayangkan jika sampai akhirnya Kiyara tak kunjung mendapatkan pendonor, Heksa adalah orang pertama yang akan mati ditikam rasa bersalahnya. Untuk itu, selama ini ia berusaha menebus semua kesalahannya. Akan tetapi Kiyara tak lagi mau menerimanya. Karena itulah Heksa memaksakan diri, bahkan pada putranya sendiri.

Helaan napas Heksa terdengar berat, kemudian memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. "Saya ingin Kiyara dan kamu kembali ke rumah, Hasta. Kamu darah daging saya dan saya ayah kandung kamu, saya berhak meminta kamu kembali ke rumah!"

Mendengar kata kembali lolos dari bibir Heksa, Bens mengetatkan rahangnya. Matanya menajam menatap wajah Kiyara yang terlelap dalam damai, kemudian ia bangkit dengan rasa panas di dadanya. Tangan yang terkepal di kedua sisi tubuhnya bergerak, mencengkeram bahu dan lengan ayahnya.

"Keluar lo dari sini! Keluar! Lo benar-benar nggak tau malu, Heksa. Lo sadar, nggak, sama apa yang lo perbuat sekarang? Lo dengan sengaja mempermalukan diri lo sendiri. Bagi gue, lo bukan siapa-siapa, ayah kandung gue udah mati sejak bertahun-tahun yang lalu!"

Kemarahan Bens membutakan kesadarannya, sehingga ia bertindak tak wajar kepada ayahnya sendiri. Ia dengan kuat mendorong Heksa hingga membentur pintu. Wulan yang tak tahu harus berbuat apa seketika dilanda panik, lalu mendekati Bens.

Wulan berdiri di hadapan Bens, menatap laki-laki itu dengan tatapan memohon. "Seharusnya lo nggak ngelakuin ini, Bens. Bunda lagi sakit, tolong kendalikan emosi lo. Masalah dan amarah melenyapkan kita jadi abu, meninggalkan rasa sakit yang tak tahu kapan akan sembuh. Lo tenang, jangan membuat bunda semakin merasa tertekan," pinta Wulan dengan lirih.

Setelah menatap Wulan, mata tajam Bens membidik Heksa yang berdiri tak tenang di dekat pintu. "Jika bukan karena dia mancing emosi gue, gue nggak akan kayak tadi, Lan."

Usai mengatakan hal itu, Bens berbalik kemudian meraih tangan Wulan. "Lo duduk, gue—"

"Gue mau ke luar sebentar! Lo sama Om Heksa butuh waktu berdua untuk sama-sama saling memahami."

Penolakan Wulan terhadap Bens membuat laki-laki itu tercengang. Padahal ia hanya ingin Wulan menemani dan menenangkannya di sini, namun mau bagaimana jika Wulan sudah mengambil keputusan. Dia memilih pergi agar Bens bisa berbicara empat mata dengan Heksa.

"Permisi."

Wulan meninggalkan ruangan dengan tatapan penuh harap yang diperlihatkan Bens. Akan tetapi Heksa tak menyukainya, ia kembali membuat ulah.

"Saya nggak setuju kamu sama Wulan punya hubungan."

"Lo benar-benar nyari masalah sama gue, Heksa!"

***

Setelah keluar dari ruang UGD, meninggalkan Bens dan Heksa untuk saling berbicara, Wulan berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Ia hanya mengikuti langkah kakinya, menuju taman rumah sakit yang ada di samping bangunan. Wulan terus berjalan, memikirkan Kiyara, Bens dan juga Heksa. Sekarang Wulan tahu seburuk apa masalah antara Bens dan ayahnya. Membuat dirinya tahu sedalam apa luka yang ditinggalkan Heksa kepada Bens dan ibunya.

"Masalah mereka nggak jauh lebih buruk dari apa yang terjadi sama mama dan papa." Wulan tersenyum, kenangan itu benar-benar menyisakan luka mendalam. Kejadian itu melukai perasaannya, ia bahkan tak akan lagi bisa menemui kedua orang tuanya. Benar-benar menyedihkan.

"Sekarang gue tau apa yang bikin Hastra punya dendam sama kakaknya sendiri. Semua karena ayahnya. Keegoisan Om Heksa bikin keluarganya sendiri hancur, anak-anaknya saling berperang tanpa memikirkan hubungan kekeluargaan."

Wulan terus bermonolog dengan dirinya sendiri di sepanjang jalan, lalu tanpa sadar seseorang menabraknya dari belakang. Membuat Wulan mengaduh kesakitan karena lututnya bergesekan dengan jalan yang padat dan keras.

"Makanya jangan ngalangin jalan gue. Lamban lo kek siput!"

"Lah, yang nabrak siapa, yang marah-marah siapa," gerutu Wulan kesal setengah mati.

Mendengar kalimat tanpa terselip rasa simpatik itu menyelinap ke telinganya, Wulan langsung tersengat emosi. Dia tak habis pikir jika orang seperti itu masih ia temukan di rumah sakit ini. Namun ketika Wulan bangkit dan berhadapan dengan orang yang telah menabraknya sampai membuatnya tersungkur di jalan, amarahnya kembali tertelan.

"Hastra?!"

"Lo? Sorry, gue—"

"Gue mau ngomong!"

Tak ingin menunggu persetujuan Hastra, Wulan segera menarik lengan laki-laki itu agar mengikuti langkahnya. Wulan membawa Hastra duduk di salah satu kursi taman, gadis itu memiringkan tubuhnya, menatap Hastra yang tampak sangat khawatir akan sesuatu.

Cowok itu menghela napas berat, lalu menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi. Wulan terus mengamatinya, keningnya mulai berkerut ketika alasan mengapa Hastra berkeliaran di rumah sakit berputar di kepalanya.

Hastra tiba-tiba menoleh, membuat Wulan tertegun. "Mau ngomong soal apa?"

Gadis itu memutar bola matanya, kemudian berdeham pelan. "Permintaan lo waktu itu," jawab Wulan.

"Kalau lo bisa bikin Bang Hasta balik ke rumah, gue akan selalu melindungi lo, Lan. Gue akan ngelakuin apapun sesuai perintah lo!"

"Tapi gue nggak tertarik, tuh, sama tawaran lo. Mana ada orang yang mau jahat itu berniat baik."

"Mau lo apa sebenernya? Main-main sama gue? Nggak ada waktu gue nanggepin becandaan lo!"

Ketika Hastra telah bangkit dari duduknya, menganggap apa yang Wulan ucapkan hanya sebuah lelucon. Laki-laki itu menatap sinis Wulan, mendengus kesal dengan kening berkerut lalu melangkah pergi. Akan tetapi teriakan Wulan mencegah langkah lebarnya. Cowok itu tampak buru-buru dan terlihat sedang ditimpa masalah.

Wulan menatap punggung lebar Hastra, mengamati bahu pemuda itu yang tak setegap biasanya. "Kenapa lo bisa ada di rumah sakit ini?" tanyanya menuntut kepastian. "Siapa yang lagi sakit?"

"Bukan urusan lo!" ketus Hastra lalu kembali melanjutkan langkah walau tanpa menoleh. Akan tetapi Wulan seakan tak membiarkan laki-laki itu pergi sebelum menjawab pertanyaan di kepalanya.

Cepat-cepat Wulan beranjak dari kursi, lalu mengejar Hastra dan menghentikan pemuda itu sekali lagi. Kali ini ia berhasil membuat Hastra berhadapan dengannya.

"Siapa yang sakit? Gue akan setujui permintaan lo waktu itu, asalkan lo mau jujur sama gue. Siapa yang lagi sakit? Apa jangan-jangan lo menyembunyikan Tante Crisya di sini?"

"Hera sakit. Sementara mama, gue nggak tahu dia di mana."

Mendengar penuturan Hastra, ada rasa sesak dalam dada Wulan. Air matanya berlinang, menatap Hastra dengan wajah yang ditekuk dalam. "Hera sakit apa, Tra?" tanya Wulan setelah mencengkeram pundak Hastra.

Hastra tak menanggapi, membuat Wulan mengulangi ucapannya. "Hastra, jawab! Hera sakit apa?!"

"Kanker ginjal stadium lanjut."

Bens Wulan 2020Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang