Sepahit Kopi

266 20 3
                                    

Pagi yang cerah. Titik embun di pucuk dedaunan bak Kristal yang berkilauan saat arunika menunjukkan sinar cantiknya. Cicit suara burung pun mulai bersahutan di atas pepohonan rindang. Kuhirup udara pagi yang menyejukkan perlahan. Usai kulakukan gerakan ringan di halaman rumah yang ditumbuhi pepohonan yang rindang, kuputuskan untuk menyeduh minuman hangat. Kopi menjadi pilihan.

Dua sendok bubuk kopi dan sesendok gula pasir menjadi takaran. Segelas kopi mulai kuseduh. Kuaduk pelan cairan hitam yang menguarkan aroma khasnya itu. Harumnya menyapa penciuman. Kuhidu perlahan dengan mata terpejam menciptakan rasa nyaman. Meskipun tidak maniak, tapi aku menikmatinya. Dari kopi aku menemukan ketenangan. Aromanya, pun rasanya.

Kopi hitam memberiku banyak pelajaran hidup. Sepahit-pahitnya kita harus tetap menikmati. Begitu pun kisahku. Kisah yang bahkan belum dimulai. Bukan, tepatnya tak akan pernah terjadi. Kebodohan yang telah kulakukan sejak dulu kini menjebak rasa. Jatuh cinta pada dia yang kini telah menjadi imam dari seseorang. Dia sudah menikah dan harusnya aku tak lagi mengharap dia melihat. Begitu pongahnya jika berharap dilihat atau bahkan dibalas perasaan olehnya.

Rasa kecewa di hati seringkali masih menusuk jiwa rapuhku. Penyesalan memang selalu datang di akhir. Andai dulu aku tak menaruh rasa padanya, mungkin hati tak akan merasa sesakit ini. Ah, sudahlah! Aku harus belajar melupakan.

Kusesap kembali kopi yang masih menyembulkan asap tipis. Kunikmati sesaat rasa pahitnya. Benar jika ada yang mengatakan, jika pahitnya kopi belum tentu menyedihkan. Kini aku membuktikan sendiri. Sepahit-pahitnya kopi lebih pahit dari ditinggalkan orang yang kita cintai. Apalagi cinta sendiri. Itu sangat sakit bukan? Namun, jika pahit belum tentu menyedihkan, maka manis belum tentu menyenangkan. Seperti halnya kisah yang dalam angan ini akan kurajut bersamanya. Kisah yang kuanggap akan berbuah manis, ternyata harus berakhir tanpa berawal.

Aku menggeleng pelan jika mengingat ucapan pria yang sangat kukagumi beberapa tahun lalu hingga saat ini. Kata-katanya begitu melekat di benak hingga tak bisa kuhilangkan. Kalimatnya tidak special, tetapi justru membuat jiwa mudaku saat itu semakin penasaran.

"Kamu, harus belajar lebih giat lagi. Jangan cuma caper saja." Dia menekankan kata caper saat mengatakannya. Jika mengingat ekspresi kesalnya saat itu aku hanya bisa tersenyum sendiri. Dasar Gus bawel. Begitu aku menyebut namanya.

Ah, benar-benar aku salah memposisikan diri jika pernah berharap diambilnya menjadi istri. Putra kiai tak akan mungkin pernah bersanding dengan perempuan sepertiku. Apa yang bisa dibanggakan? Sekolah gak bener, suka ngece gurunya. Namun, entah kenapa hanya dengan Gus Bawel itu saja aku sampai jatuh cinta. Bodoh bukan diriku ini? Berani banget jatuh cinta sama gusnya.

Tak jadi masalah buatku dibully teman-teman sekamar saat dengan terang-terangan aku mengatakan jika jatuh cinta dengannya. Kata edan, stress dan sejenisnya akan selalu terlontar dari mulut cantik mereka.

"Wis ta lah, Rek. Suatu hari nanti aku akan membuktikan jika Guse bakal bertekuk lutut padaku," ucapku sombong kala itu. Mereka semua mencebik dan melemparku dengan barang yang ada di sampingnya.

"Ngimpimu ojo duwur-duwur, Ay. Lak ceblok luoro poolll! Notok ati loh, tenan. " ucap salah satu temanku dengan ekspresi sakit seraya memegang dadanya. Aku berdecak kesal. Mereka meremehkanku.

Aku menggeleng pelan mengingat semua kejadian itu. apa yang dikatakan mereka benar. Harapan dan anganku terlalu tinggi dan jatuhnya benar-benar sakit. Syukurnya hati ini ciptaan Allah. Jika tidak, pasti sudah hancur berkeping-keping.

Gus, ternyata rasa yang kutanam selama ini salah. Terima kasih telah memberikan pelajaran bagi hati ini. Jika cinta tak seharusnya memiliki. Jika semua yang telah tertanam di hati tak akan lagi berguna untuk disesali. Lebih baik kini aku menyesap kopi kembali. Berharap rasa pahitnya mampu meredam gejolak kecewa yang seringkali masih saja mengusik hati.

***

"Bu Ay, besok ada rapat kurikulum sama operator di rayon," ujar Pak Ali saat kami sedang menikmati waktu istirahat di kantor. Segera kulihat ponsel yang tergeletak di meja. Sejak pagi benda pipih itu tak tersentuh. Kubuka pesan yang berderet panjang memenuhi laman WhatsApp.

"Berangkat dari sekolah saja ya, Pak." Pak Ali mengangguk seraya menyesap kopi yang dibuatnya beberapa saat lalu.

Aku menekuni profesi sebagai tenaga pengajar di sebuah lembaga swasta yang tak jauh dari rumah. Tiga tahun terjun di dunia pendidikan menambah pengalaman hidup. Bertemu dengan para siswa menjadi penyemangat. Sejenak bisa melupakan kekalutan hati yang melanda. Menjadi guru harus siap memposisikan diri menjadi panutan bagi para siswanya.

Selalu semangat dan memberikan warna baru bagi anak didik menjadi slogan harian yang harus kujalani. Sesedih apa pun keadaan ini, di depan mereka aku harus menampakkan senyum terbaik. Menunjukkan jika setiap hal yang menyedihkan akan diganti yang lebih baik oleh Tuhan. Terkadang aku tertawa miris di dalam hati, apakah hal itu juga berlaku untuk hatiku? Sedangkan hingga detik ini melupakannya adalah hal tersulit.

"Berkas yang dibawa besok sudah siap semua to ini yang tertulis di grup?"

"Tinggal print, Bu. Cuma verifikasi saja kok." Aku mengangguk. Kemudian aku beranjak untuk menyeduh kopi yang memang disiapkan untuk para guru. Kali ini bukan kopi hitam yang ingin kunikmati. Kopi latte dengan varian rasa hazelnut sepertinya akan memberi rasa baru untuk menenangkan perasaan yang sedikit ambyar hari ini. Entah, kenapa nama itu masih tetap saja berputar-putar di benak ini.

Pak Ali masih asyik dengan ponselnya saat aku duduk di hadapannya dan mulai meyesap kopi yang masih menguarkan aroma gurih hazelnut. Pahit, manis dan gurih menjadi satu. Seperti hidup.

"Bu Ay, gak ingin menikah?" Pak Ali menatapku. Sesaat kemudian dehaman berjamaah menyapa telinga. Seketika tawaku berderai.

"Pak Ali mau nyariin jodoh buat Bu Ay tah?" celetuk salah satu guru yang lain. Aku hanya menggeleng pelan. Selalu saja heboh jika berkaitan dengan statusku yang hingga detik ini masih setia sendiri. Aku tidak menunggunya menyapa, tetapi aku hanya masih ingin benar-benar bisa meluruhkan perasaan terhadapnya agar takada lagi rasa kecewa jika nantinya aku siap menjalin hubungan dengan yang lain.

"Tenang saja, Pak. Kalau memang sudah waktunya nanti jodoh bakalan datang," jawabku tenang.

"Iya sih, Bu. Tapi pastinya Bu Aya ini seleranya tinggi wis."

"Halah, Mboten, Pak. Saking belum ada yang cocok memang," elakku mencoba menutupi.

"Biasanya perempuan modelan kayak Bu Aya ini sulit diajak nikah karena pernah trauma akibat patah hati," celetuk Pak Aldi. Aku hanya mengendikkan bahu. Dasar bapak-bapak muda. Ya, umur kami memang hanya terpaut dua sampai tiga tahun. Sekolah yang kutempati termasuk sekolah baru yang hampir tujuh puluh lima persen tenaga pengajarnya fresh graduate.

"Bu Aya ojo dibully to, Pak. Ngko nangis loh." Salma mencoba membela saat suasana mulai tak kondusif. Sedangkan aku hanya tersenyum. Bersama mereka membuat hatiku lebih tenang. Hiburan gratis dengan keluarga. Setidaknya perlahan hati ini harus move on dari kenangan. Mampukah aku?

***

Gus Dafa (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now