Bab 16 - Karma

831 91 16
                                    

Kehidupan sempurna yang tidak indah.

Mau sepintar dan secantik apa, manusia tetap lemah ketika diberi pilihan hidup yang menyakitkan. Orang bilang sebagai manusia kita harus banyak bersyukur, tetapi Lee Eun-Rin bahkan tidak tahu apa yang harus disyukuri?

Meskipun kadang ia dan orang lain menganggap dirinya sebagai sosok perempuan yang sempurna... tapi sebenarnya tidak begitu. Ia kadang iri kepada orang-orang yang mungkin memiliki kehidupan yang biasa namun punya alasan untuk bertahan hidup yang kuat.

Contoh kecilnya seperti berkumpul keluarga di hari natal, memberikan bunga saat hari kelulusan sekolah, bertengkar dengan kedua orangtuanya karena Eun-Rin sangat pemberontak, dan menghabiskan hari libur bersama.

Hal-hal kecil semacam itu... tidak dirasakan olehnya. Ia hidup layaknya tak memiliki orangtua, keluarga, mau pun seseorang yang perlu ia jadikan pegangan hidup. Menyemangatinya ketika ia gagal, menertawakannya ketika ia membuat lelucon, dan menangis saat dirinya sedang sedih. Aneh ya? Uang banyak tapi tidak ada satu pun seseorang semacam itu di hidupnya.

"Sudah lama sekali ya rasanya tidak minum teh berdua seperti ini," ucap Tuan Lee yang sebenarnya tidak menyangka ketika anak kandungnya meminta dirinya minum kopi di kafe yang tidak begitu jauh dari perusahaan.

Eun-Rin menganggukan kepala acuh tak acuh. Benar, sudah lama sekali. Saking lamanya, ia bahkan tidak bisa mengingat kapan tepatnya ia benar-benar menghabiskan waktu bersama ayah kandungnya sendiri.

Kepala gadis itu teralih pada seorang wanita paruh baya yang sedang makan es krim bersama anak perempuannya. Eun-Rin tersenyum miris. "Setelah kusadari ternyata aku tidak sebahagia kelihatannya. Aku tidak punya banyak kenangan dengan kedua orangtuaku sendiri. Ibuku yang selalu mabuk-mabukkan, ayah yang selalu mengejar cinta pertamanya. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu untuk diriku sendiri," kata Eun-Rin menggelengkan kepalanya pelan dengan tertawa tanpa suara.

Tuan Lee tertegun mendengar ucapan anaknya, tenggorokannya tercekat saat suara Eun-Rin terdengar sangat menyedihkan di telinganya.

"Eun-Rin ah..." tegur ayahnya pelan.

"Apakah Ayah bahagia sekarang? Karena sudah mendapatkan apa yang dulu kau inginkan?" tanya Eun-Rin menatap lurus-lurus mata ayahnya. Terdapat pancaran sedih dari bola mata gadis itu yang indah.

Tuan Lee berdeham. "Kau juga harus mulai menerimanya sekarang," katanya pelan.

Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Apakah Ayah pernah berpikir apa yang terjadi sebenarnya dalam hidupku? Aku kadang tidak tahu siapa diriku sebenarnya, dan seperti apa latar belakangku sesungguhnya. Pernahkah Ayah bertanya betapa beratnya bagiku menerima kenyataan ini? Aku bahkan tidak meminta banyak, aku hanya ingin keluargaku seperti keluarga lain pada umumnya," ujar Eun-Rin. "Cinta memang tidak bisa dipaksakan, aku mengerti. Tapi setidaknya aku menantikan tanggung jawabmu sebagai kepala keluarga – setidaknya itu orang-orang katakan, bahwa laki-laki akan tetap menjadi kepala keluarga. Memimpin, mengayomi, menafkahi, dan bekerja keras. Selama ini Ayah tidak pernah melihatku sama sekali, aku mulai berpikir lelaki macam apa kau selama ini," lanjutnya serak.

Tuan Lee tidak mengatakan apa-apa, ia membiarkan Eun-Rin meluapkan semua himpitan di dadanya.

"Di Jeju aku tidak bisa mengatakan isi hatiku karena aku mencoba menghargaimu. Tetapi sepertinya aku memang harus mengatakan apa yang harus kukatakan padamu sekarang," kata Eun-Rin dengan senyum tipis. "Sampai mati pun aku tidak akan merestui pernikahan kalian berdua. Kalau Ayah tanya kenapa, itu perasaan luar biasa menyakitkan yang tak akan pernah tergantikan. Rumah indah itu, rumah keluarga kita sudah menjadi milik orang lain dan aku sendiri tidak tahu masih bisa menginjaknya lagi atau tidak. Aku layaknya orang asing yang tidak punya tempat pelarian sekarang. Lee Eun-Rin sekarang hanya menjadi pewaris keluarga Lee. Benar, begitu?"

Sweetest LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang