24.00 Mama: Keberangkatan dan Keterlambatan

2.4K 807 53
                                    

"Ketika kamu juga memilih egois untuk pergi, orang-orang tak akan peduli, sebab kamu tak berarti dan banyak hal berganti."

✉✉✉

Ketukan pintu dan pertemuan yang sekian lama memberi jarak antara keduanya. Terkikis dalam waktu satu detik, mata sang wanita melebar tak percaya. Sosok pria yang sudah lama ia hapuskan dari hidupnya, sosok pria yang tak ingin ia temui lagi dalam perjalanan panjang ini. Kali ini berada pada titik temu pintu rumah keluarga barunya.

Irwin menatapnya sendu, tak berucap apa-apa. Maka sore itu dengan dua cangkir teh depan teras rumah asrinya. Ia terdiam tak bertanya banyak. Dari totebag kertas diserahkan. Sebuah kotak ungu menyembul.

Tanpa obrolan panjang, tanpa adanya basa-basi kabar. Irwin pamit pulang dan hanya menyuruhnya membuka kotak ungu itu.

Merenung lama pada meja makan, matanya tertuju pada boneka beruang putih kecil samping kotak, surat-surat berserakan, serta beberapa jenis permen di dalamnya. Anak gadisnya. Ciera Pelita.

Tidak seperti yang ia duga. Ia tumbuh dalam kecerian penuh dusta, pantas saja dipertemuan mereka saat itu tak ada senyum lebar penuh binar menguasai wajahnya, tak ada lagi ucapan mengebu-ngebu setiap katanya.

Dia begitu hampa, dan Erina tak begitu peka untuk menyadari. Meremas jemarinya, titik-titik air mengaliri dua belah pipinya. Ruangan rumah terasa sepi ini menyudutkan rasa bersalah menanjak.

Ia tak becus menjadi seorang ibu. Ibu macam apa dirinya? Yang bahkan tak tau keadaan anaknya sendiri? Yang memilih lalai lalu mengabaikan.

Putaran-putaran kilas masa dahulu, teriakan cempreng Ciera, pipi bulatnya yang mengemaskan. Gigi kelincinya, rambut panjangnya yang halus pernah ia kepang setiap paginya.

"Mama, nanti kalau udah besar Ciera bakal beliin mama rumah yang gede banget di Wonderland biar kita tetangaan sama PetterPan!" ujarnya penuh semangat menyuap lebih banyak nasi goreng dengan lahap.

"Nanti kita bisa terbang ke langit kalau ketemu Tinkerbell!"

Tidak ada yang mengerti mengenai khayalan anak kecil, tapi sebagai orang dewasa ia memilih mengiyakan agar sang anak senang.

Erina masih ingat betapa senangnya Ciera menerima boneka beruang kecil itu ketika ia masih balita. Boneka yang menemani hampir sebagian pertumbuhan. Boneka yang menyaksikan bagaimana anak itu berlari kencang di taman lalu pulang menangis mengadu karena terjatuh ke dalam selokan.

"Ciera," gumamnya parau. Tak sanggup lagi membayangkan setiap apa saja yang telah menimpa gadis itu dalam usia belianya. Betapa luka keras, betapa duka, betapa kehilangan kerap mampir dalam hidupnya.

Erina pikir ialah satu-satunya manusia yang menderita karena cinta, ia pikir ialah satu-satunya manusia terkhianati di dunia ini.

Kasus perselingkuhan Irwin menjadikan dunianya terasa berputar terbalik, ia marah. Amat-amat marah. Bisa-bisanya pria itu menyatakan cinta pada dua orang berbeda dalam waktu bersamaan.

Erina tak menginginkan sekeping hati yang tak sepenuhnya bisa ia miliki. Dan itu membuatnya terluka. Tak terima.

Kericuhan-kericuhan dalam rumah terjadi, bentakan, teriakan kasar. Semuanya terasa akan berakhir. Semuanya memang harus berakhir.

Mulut-mulut tajam tetangga mengiring opini, mengadu domba membenturkan perasaannya hinga menyisakan serpihan. Mereka memilih berpisah, memilih tak lagi bersama.

Butuh waktu panjang mengobati luka menerima kenyataan dan berjalan mengisi keseharian.

Ketika Erina telah menemukan pengganti, ketika Erina merasa benar-benar telah bisa sembuh dari keterpurukan dalam rumah tangga sebelumnya. Sang ibu, nenek dari Ciera tak merestuinya untuk pergi. Untuk menikah menemui kebahagian baru dalam hidupnya.

Surat Untuk JanuariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang