09.05 Surat: Ciera dan Ciera

3.3K 935 19
                                    

Teruntuk bulan Januari.

Hari ini cerah, semua orang keliatan bahagia, aku gak mau jadi satu-satunya manusia yang gak bahagia. Jadi aku nyoba buat pura-pura baik-baik aja.

Sejujurnya, semuanya kayaknya terlalu sulit buat terlihat remeh dan biasa aja.
Selain rasanya pegel-pegel goes sepeda seharian, tidur larut malam balik dari kafe kerjain tugas sekolah, bangun pagi-pagi buat ngerasain rasa dingin.

Padahal, aku bahkan pernah ngerasa gak akan jadi apa-apa setelah bertahan segininya.
Rasanya lebih baik aku pergi atau menghilang aja. Aku malu sama diriku sendiri.
Apalagi pas pembagian raport sekolah yang mewajibkan orangtua buat ngambilnya. Aku gak punya siapa-siapa yang bisa datang ke sana. Aku hanya punya diriku sendiri buat berdiri di antara kumpulan emak-emak atau bapak-bapak yang nungguin raport anaknya. Atau aku bakal berakhir nungguin wali kelas di ruang guru sendirian buat ambil raport sambil mikirin seribu alasan kenapa gak ada perwakilan orang tua buat ngambil.

Habis nenek meninggal, aku gak perlu capek-capek jadi anak pintar, kerjain tugas, atau takut karena nilai turun, lebih parahnya punya nilai merah.
Nenek pergi dan gak akan ada yang peduli soal nilai-nilai itu lagi termasuk aku.

Jadi, satu-satu hal yang kulakuin sekarang cuma nilai pas-pasan biar raportnya gak ditahan sama guru dan bikin waliku datang, soalnya aku tahu gak akan ada yang bisa datang.

Aku menyedihkan banget gak sih?

Ciera Pelita

"Lo siapa yang datang?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lo siapa yang datang?"

Suara riuh koridor mengema, satu persatu siswa berbicara saling menanyakan.

"Babeh gue dateng sih, jadi amanlah dari amukan mak kalau nilai jelek."

Ciera terdiam mendengarkan, bersandar pada dinding tembok depan kelas menatap orang-orang lalu lalang. Manik matanya menyendu, wajah pucat menahan rasa dingin cuaca mendung nan meresap tulang punggung, beralih memperhatikan detail kecil sepatu sekolah berdebu nan lusuh.
Ia menjadi salah satu bagian terkecil tak diperhatikan. Mata memejam sejenak, mencoba menepuk-nepuk bahu terasa pegal. Tersenyum samar, pengeras suara menggelegar menyuruh para orangtua memasuki ruang kelas anak-anaknya.

Tembok kuning sekolah terasa lebih menarik daripada krasak-krusuk para siswa mendekati jendela memastikan apa yang akan terjadi dengan raport mereka nanti, beberapa berharap-harap cemas. Beberapa lagi nampak percaya diri menanti.

Ciera berdiri pada lantai berdebu, ragu-ragu hendak masuk atau tidak ke dalam kelas, kerumunan mulai menjadi lebih luas, kerusuhan saling mendorong hendak menyaksikan orangtua masing-masing di dalam sana berdengung, tak lama seorang pria rapi membawa tumpukan raport masuk. Wali kelas mereka. Berambut hitam klimis berkacamata tebal serta berkumis tipis. Sepatu hitam pentofelnya menarik perhatian.

Surat Untuk JanuariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang