18. Hilang dan Kembali

310 62 39
                                    

Perihal rencana Daniel, sudah lewat tiga hari pasca perdebatan kecil mereka dengan Alana, dan sampai kini Daniel belum mengabari Hanan lagi. Sementara Alana terlihat tidak ada inisiasi sama sekali terkait hal tersebut. Alana seolah mengabaikan meski setiap hari ia dan Hanan masih bertemu di kampus dalam rangka mengerjakan skripsi bersama.

Sikap Alana pun masih tak berbeda dengan sikapnya kemarin. Tetap menolak berkonversasi sepanjang waktu revisian, kecuali jika membahas masalah penelitian. Membuat Hanan tak punya celah untuk 'berdamai' dengannya.

Terus terang Hanan tidak nyaman. Suasana hening yang biasanya selalu ia harapkan hadir di antara mereka, sekarang terasa sangat ingin ia enyahkan. Hanan lebih suka Alana banyak bicara atau random bercerita tentang hal apa saja itu dari pada seperti ini.

Helaan napas Hanan menguar, sekilas menyapu pandang ke bangku di sebelahnya. Menilik Alana yang tampak fokus dengan jurnal dan sang laptop. Pikiran Hanan bercabang, dominan memikirkan tentang bisakah sesuatu yang 'hilang' dari Alana itu, 'kembali' lagi?

Sampai satu sekon berikutnya, pupil Hanan melebar. Bersamaan dengan Alana yang menaikkan jemari, meraba philtrum-nya sendiri. Setelah itu refleks Alana menengadah, berusaha menghentikan darah yang keluar. Namun Hanan menahan kepalanya dan balas melakukan hal yang sebaliknya.

"Salah. Lihatnya ke bawah." intruksi Hanan. Sebelah tangannya yang lain bergegas meraih tisu di atas meja, lalu membawanya untuk menyeka hidung sang gadis.

Alana bergeming. Membiarkan Hanan memberi pertolongan pertama padanya. Siang itu kebetulan taman fakultas sedang lengang jadi mungkin tak banyak orang yang memperhatikan mereka.

"Udah berhenti kayaknya ya."

Hanan berkata tenang. Wajar ia tak begitu panik, karena Hanan juga pernah mengalami itu jika dia terlalu kelelahan. Tapi rupanya Alana tidak demikian. Sebab di menit yang sama, Hanan bisa melihat kedua tangan Alana yang mengambang di udara itu bergetar pelan. Dia ketakutan.

Jadi Hanan berinisiatif menggenggam tangan Alana dengan sebelah miliknya. Perlahan mengusap ibu jarinya pada bagian itu, lembut.

"Nggak apa-apa kok ngambil jeda sebentar buat diri sendiri, Al. Kalau lagi cidera, lo gak harus berlari biar bisa sampai ke garis finish," Hanan mempertemukan tatap di manik Alana, lalu tersenyum, "Jalan santai aja. Timing setiap orang kan beda-beda."

Sang gadis tertegun. Sekian menit hanya hening yang melingkupi mereka. Tak lama sepasang netra Alana terasa panas dan sesuatu yang hangat tak ayal sudah mengalir jatuh saja di kedua pipi itu. Alana langsung mengusap wajahnya dengan punggung tangan.

"Ah, sial, gue gak niat nangis padahal. Kenapa tiba-tiba keluar..."

Hanan diam, memandang gadis di depannya nanar. Kali pertama bagi Hanan melihat sisi Alana yang rapuh. Kali pertama pula, Hanan bisa merasakan empati pada seseorang.

"Boleh gue peluk lo?"

Hingga diksi itu tiba-tiba sudah terlontar darinya. Alana tak menjawab dengan kalimat, namun setelah lima sekon, ia mengangguk pelan. Lalu tanpa menunda lagi, Hanan langsung mencondongkan badannya. Meraih tubuh sang gadis dalam rengkuhan intens.

Tidak ada kata-kata yang mengisi setelah itu. Yang Alana ingat hanya suara gesekan dedaunan akibat sapaan angin, tepukan-tepukan pelan dan konstan dari Hanan di punggungnya serta air matanya yang terus mengalir, walau tanpa isakan.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
[✔️] Playlist : CamaraderieWhere stories live. Discover now