16. Untaian Nuraga

294 58 20
                                    

Accord hitam itu baru saja menurunkan penumpang di depan pagar rumah Arumdalu. Bersama dengan Alana yang keluar dari sana sembari menyampirkan tali tas punggung di sebelah lengannya lalu bergegas menunduk demi menghentikan pengemudi di dalam mobil untuk ikut keluar pula.

"Gak usah mampir." katanya singkat.

Jika ia adalah Alana yang biasanya, sudah pasti kalimat yang terucap tidak akan terkesan dingin seperti itu. Namun, ini adalah Alana yang baru. Yang belakangan cenderung enggan memperpanjang konversasi dengan siapapun. Maka dari itu ia memilih diksi teringkas yang ia bisa.

Pun berkatnya berhasil mengenyahkan intensi dari Abian yang hendak membuka pintu mobil. Laki-laki itu melongok dari bingkai kaca, mengecek sekali lagi kondisi adiknya sebelum benar-benar pergi.

Legina bersuara, "Ya udah, Kak Egi sama Bang Bian balik dulu ya, Lana. Lana juga abis ini istirahat, ya. Salam sama temen-temen kontrakan Lana."

"Kalau ada apa-apa kabari Abang ya." sambung Abian setelahnya.

Alana mengangguk. Sekilas melambai, melepas sedan itu berlalu dari pekarangan rumahnya. Si gadis membuka pintu dengan kuncinya sambil membawa langkah masuk. Suasana rumah begitu sepi, tak ada penghuni satu pun kala itu. Bisa Alana tebak karena sekarang adalah sore di hari kerja. Yang artinya, semua teman-teman kontrakan yang ia labeli super sibuk itu pasti sedang punya urusan masing-masing di luar rumah.

Alana tak begitu menggubris. Jadi ia hanya berderap melewati Yoru—si kucing hitam Arumdalu—dan bermuara ke kamarnya. Sedikit berterimakasih pada Iris karena mendapati kasur Alana yang tetap tertata rapi bahkan meski ia tinggalkan selama lebih dari seminggu.

Usai membersihkan diri dan meletakkan barang bawaan—yang tidak banyak pada dasarnya karena toh Alana hanya membawa satu tas saja—di pukul tujuh malam, satu per satu anggota rumah pun pulang. Bisa di katakan mereka pulang lebih awal dari biasanya, mungkin karena mendengar Alana akan kembali dari Padang hari ini.

Sebab tepat di detik itu pula, pintu kamar Alana di ketuk, ada Shelma dan Delyn yang berdiri di luar. Berpandangan dengan Alana yang baru saja membuka pintu kamar.

Tanpa awalan apa-apa Delyn langsung memeluk Alana. Menepuk punggungnya pelan beberapa kali. Membuat asumsi Alana berlabuh di satu konklusi: "oh, kayaknya mereka udah tau dari bang bian."

"Turut berduka cita ya, Lana. Maaf kami telat taunya," gumam Delyn. Tak lama ia mengurai pelukannya.

Setelah itu gantian Shelma yang mengusap rambut Alana dalam senyum hangat dan figurnya sebagai kakak tertua, "Lana yang sabar ya. Kalau butuh apa-apa, bilang aja. Kita semua pasti bakal bantuin Lana."

"Makasih Kak Delyn dan Kak Shelma, Maaf juga ya aku gak sempat ngabarin apa-apa selama di Padang."

Keduanya kompak mengangguk maklum. Lalu tanpa komando, Shelma menyodorkan bingkisan yang sedari tadi ia tenteng. Diiringi senyumnya yang mengulas ramah.

"Buat Lana."

Alana membalas dengan senyum tipis pula, "Makasih kak Shel, nanti aku bagiin ke Iris ya kalau dia udah pulang."

"Eh Iris udah pulang nih."

Suara pelan itu menginterupsi dari belakang. Membuat ketiga gadis lainnya menoleh pada sosok berambut pendek yang menjadi teman sekamar Alana.

"Kak Lana udah pulang juga ya." sambung Iris lagi. Wajahnya terlihat ingin mengatakan sesuatu tapi mungkin sulit untuk di interpretasikan.

Jadi Alana yang lebih dulu menyambutnya dengan senyum, "Iya hehe. Terus ini ada cake dibawain Kak Shel buat kita—"

[✔️] Playlist : CamaraderieWhere stories live. Discover now