08. Ambang Batas

335 64 35
                                    

Bimbingan kali ini berjalan harmonis. Pak Bambang tampak tersenyum lebar usai memeriksa hasil tulisan kedua mahasiswa bimbingannya. Sebelum ia menaikkan pandangan kepada mereka, masih dengan raut bahagia.

"Nah, gini kan mantap. Pembahasannya saling mendukung, ini baru yang namanya kolaborasi skripsi." puji Pak Bambang.

"Setelah ini saya udah bisa lanjut ke bab 1, Pak?" tanya Hanan.

"Kamu mau lanjut sampai BAB 3 juga boleh, ntar saya tinggal ACC terus langsung maju sempro."

Baik Hanan maupun Alana kompak menyipitkan pandangannya. Menyadari ucapan Pak Bambang adalah satir. Kenyataannya untuk membuat latar belakang saja membutuhkan waktu lebih dari sebulan, bagaimana dengan BAB berikutnya.

"Saya bercanda." kekeh Pak Bambang, "Tapi intinya karena latar belakang kalian udah terjabar dengan baik. Maka bab bab selanjutnya saya yakin bisa lebih mudah. Besok kalian juga bisa untuk mulai melakukan kunjungan ke pabrik-pabrik sebagai data pendukung."

"Baik, Pak."

"Ok, saya rasa cukup ya bimbingan kita hari ini. Saya tunggu progress kalian secepatnya."

Alana dan Hanan mengangguk menyanggupi. Tadinya Alana pikir Pak Bambang tidak akan iseng hari ini, tapi ternyata asumsinya salah.

Selagi mereka sibuk mengemas berkas penelitian ke dalam tas karena sesi bimbingan sudah selesai, suara Pak Bambang tiba-tiba menginterupsi,

"Ngomong-ngomong, saya penasaran, apa rahasianya kok kalian bisa jadi akrab sekarang?" Pak Bambang bertanya dengan memasang wajah menggoda, "Statusnya udah berubah ya? Pacaran nih, ciye?"

"Enggak, ngaco ih, Pak. Ogah banget."

Alana instan menutup mulutnya rapat-rapat usai respon spontan itu.

"Wah, wah, Hanan, kamu udah diogahin sebelum menyatakan perasaan. Sad boy sekali. Saya bersimpati. Alana, memang apa kurangnya Hanan sih buat kamu?"

"Y-ya nggak gitu... M-maksud saya hng..." Alana melirik sekilas pada Hanan, takut jika laki-laki itu memang tersinggung atas ucapannya. Namun Hanan balas menatapnya datar.

"Nggak usah ditanggepin." setelah itu Hanan berdiri dari bangkunya sambil menyandang tas, "Pak, kami permisi. Ayo, Al."

"Ah gak seru," cibir Pak Bambang, walau kemudian beliau mengijinkan kedua bimbingannya keluar ruangan. 

Dalam hati Alana sangat bersyukur karena secara tidak langsung Hanan sudah menyelamatkannya. Jadi gadis itu berniat mentraktir Hanan sebagai bentuk terimakasih.

Hanya saja Hanan tiba-tiba menghentikan langkahnya, tepat begitu mereka baru keluar dari pintu ruangan dosen.

"Kenapa?" tanya Alana. Menatap bingung sosok Hanan yang mematung dengan ponsel di tangannya.

Detik berikut, Hanan berbalik dari posisinya, "Lo duluan aja. Gue masih ada urusan sama Pak Bambang."

"Eh?"

Dan Hanan tidak menunggu Alana bertanya lebih jauh. Ia sudah kembali masuk ke dalam ruangan itu.

"Urusan apa dah. Jan bilang dia mau ngelobi Pak Bambang trus nyelesein skripsi duluan?!" monolog Alana suudzon.

Karena kepo, Alana berujung mengintip dari tepi pintu yang kebetulan terbuka sedikit. Lalu ia terkejut lantaran Hanan terlihat baru saja menghempaskan ponselnya ke atas meja Pak Bambang.

"Tolong hentikan," suara Hanan, "Sampai kapan paman mau terus-terusan melibatkan aku di sini? Apa nggak cukup cuma Alana aja?"

Alana mengerutkan kening, "kok gue?" gumamnya aneh.

[✔️] Playlist : CamaraderieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang