15. Titik Balik

312 60 25
                                    

Derit sepatu Daniel seketika terhenti begitu ia keluar dari ruangan dosen. Melihat figur Hanan yang berdiri di ujung selasar koridor, membuat lelaki berdarah Batak itu memacu langkahnya ke tempat yang sama. Hingga keduanya kini sudah berhadapan.

"Lana mana? Biasanya sama lu kan."

Awalan kalimat sapaan yang terkesan seperti pertanyaan tuntutan, hanya di respon Hanan dengan datar, "Masih di Padang kayaknya."

Kali ini kening Daniel mengerut, "Kok di Padang?"

"Bokapnya meninggal."

Pasang netra Daniel melebar. Pantas saja dari seminggu yang lalu ia tak menemukan sosok gadis itu di mana pun. Di saat kebetulan Daniel juga sedang menjaga jaraknya dari Alana karena alasan lain.

"Mungkin Lana masih kalut banget karena terlalu tiba-tiba, jadi dia gak sempet ngabarin lo." sambung Hanan.

"Tapi dia sempet ngabarin lo," gumam Daniel. Bibirnya melengkung tipis, "Wah..."

"Dia gak ngabarin gue. Kebetulan pas dapet berita itu dia lagi sama gue."

Meski sudah di jelaskan sedemikian. Daniel tetap menunjukkan senyum tak biasanya. Hanan bisa merasakan itu bukan senyuman iseng atau meledek, tapi senyuman sarkastik.

Maka dari itu Hanan melanjutkan kalimatnya, "Gue sama sekali nggak berniat gantiin posisi lo di hidup Alana. Tapi kalau lo ternyata punya rasa yang lebih dari sekedar teman ke dia, gue gak semudah itu juga buat ngalah."

Daniel sontak mempertemukan tatap mereka. Memandang lawan bicaranya lekat. Sebelum satu kekehan kecil lolos dari bibirnya.

"Wah gokil gue barusan di warning nih buat rebutan Alana sama lo?" absurd, Daniel sampai berujung menepuk-nepuk pundak Hanan untuk meredam gelaknya, "Bro, you should watch your own face right now. It's freakin hilarious hahaha! Kalau Alana liat pasti dia ngakak juga dahhh"

Hanan merotasikan netranya jengah. Dengan malas ia mengenyahkan tangan Daniel yang menyentuhnya.

"Gue serius, Danny."

"Hah?" kaget. Daniel refleks menghentikan tawanya. Berganti melebarkan netra berlebihan, "Dih anjir gue deg-degan di panggil nama akrab sama lo... Inikah cinta oh inikah cinta?"

Hanan memundurkan langkahnya sambil menggeleng tak mengerti. Mereka bilang sahabat adalah representasi dari dirimu, tak heran mengapa Hanan kerap menemukan watak Alana pada diri Daniel. Tak heran juga mengapa Alana dan Daniel bisa menjadi sohib kental.

"Cabut. Gue gak punya waktu buat ngeladenin lo." tutup Hanan akhirnya.

"Canda elah," Daniel tersenyum, "Gue tau lo serius. Good for you both. Jujur, gue juga suka sama Alana. Dari dulu, bahkan."

"Terus kenapa kalian gak jadian? Lo di tolak? Atau friendzone?"

Daniel mengusap dagunya. Berpikir, "Lebih dari pada itu, gue udah tau Lana gak bakal mau. Emang kitanya gak bisa juga sih. Masalah adat, ribet."

"Emangnya orang Batak gaboleh nikah sama orang Minang?"

"Boleh, tapi gak dianjurkan. Lagian gue kudu nikahnya sama pariban. Ya gimana."

Pariban itu sepupu. Daniel yang laki-laki Batak memang sudah dijodohkan dengan anak perempuannya tulang (paman) dari pihak sang ibu. Dan turun temurun selalu seperti itu.

"Kadang gue kesel. Jaman modern kayak gini harusnya gak perlu seribet itu lagi soal adat ya tapi susah juga sih. Minang sama Batak tuh tradisinya sama-sama kuat. You know what I mean lah." keluh Daniel diikuti helaan napasnya.

[✔️] Playlist : CamaraderieWhere stories live. Discover now