"Maksudnya?" tanya Hijir.

Jawaban itu sontak membuat Zaa bingung. Pangkal alisnya tertaut. Perempuan itu mencondongkan tubuh, mencoba mengamati ekspresi Hijir lebih dekat. Namun, tak ada ekspresi lain selain kebingungan di sana.

"Jadi, buku itu bukan dari kamu?"

Perlahan namun mantap, Hijir menggeleng.

"Lalu, dari siapa?"

Tepat setelah itu, ponsel Zaa bergetar, ia menerima sebuah pesan.

|Sudah menerima buku dariku?

Tanpa ragu, Zaa menyentuh ikon panggil pada nomor tersebut. "Kamu di mana?"

Hijir semakin tak mengerti. Apa sebenarnya ini? Zaa tiba-tiba mendatanginya dan mengira bahwa dirinyalah yanng memberikan buku pada perempuan itu. Kenapa?

Meski penasaran, Hijir tetap diam. Diamatinya perempuan yang berbicara di telepon itu. Sayang, sepertinya orang di seberang tengah berbicara, hingga membuat Zaa diam mendengarkan.

Belum usai keterkejutannya, Hijir kembali dibuat kaget setelah Zaa bangkit tiba-tiba, meraih kembali buku dan pergi tergesa dari sana. Ponsel sama sekali tak beralih dari samping telinga kanannya.

Tak mau ikut campur, Hijir memilih berdiam sambil menumpuk pertanyaan dalam kepala.

"Tirani itu mulai hancur."

-o0o-

Sampai evaluasi mingguan hampir digelar, Zaa belum juga terlihat batang hidungnya. Tak ada yang tahu ke mana perempuan itu pergi. Rita yang biasa dipamiti pun tampak tahu-menahu kali ini. Pun Zaa tidak meninggalkan pesan apa pun di ruang obrolan kali ini.

Di tempat duduknya, Hijir mulai gelisah. Siapa kira-kira yang ditelepon perempuan itu tadi, sampai-sampai ia pergi begitu saja, tidak seperti biasanya.

Tak mau menyia-nyiakan waktu dengan menunggu Zaa, akhirnya mereka melakukan rapat tanpa kehadiran perempuan itu. Beberapa merutuk dalam hati masing-masing, beberapa yang memang lama mengenal Zaa, heran jelas. Belum pernah Zaa seperti ini kecuali ada alasan jelas yang mendesak.

Sampai sore menjelang, Zaa baru kembali dengan wajah merah, terbakar sinar mentari yang bisa dibilang seharian. Perempuan itu juga tampak lelah dengan wajah kuyunya.

"Dari mana, Zaa? Kami semua mencari kamu tadi."

Zaa meraup wajah kasar. "Maaf, Mbak. Zaa pergi nggak izin, tapi tadi pagi benar-benar urgent dan Zaa baru bisa kembali sekarang." Ia menatap Rita penuh penyesalan.

Perempuan yang berdiri di depan Zaa itu berkacak pinggang. Sambil menatap Zaa tajam, ia kembali berucap, "Apa gunanya kamu punya ponsel, Zaa? Bahkan nggak satu pun dari kami yang bisa menghubungi kamu."

Zaa hanya bisa kembali meraup wajah kasar dan mengembuskan napas panjang. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan pada perempuan itu. Lagi-lagi ia hanya bisa mengucapkan maaf.

"Seminggu terakhir ini pokoknya Mbak nggak mau dengar kamu izin lagi ya, Zaa. Apa lagi tanpa bilang seperti tadi. Minggu depan kita sudah farewell party program, banyak yang perlu dipersiapkan. Jadi Mbak mohon kerja samanya kali ini." Kalimat panjang itu mengundang anggukan kepala dari Zaa.

"Iya, seminggu nanti Zaa nggak akan keluar-keluar pesantren lagi." Selain karena tak ingin menimbulkan masalah baru, Zaa juga tak merasa akan memiliki keperluan di luar pesantren selama seminggu ke depan. Toh hari ini ia keluar bukan karena sengaja, benar-benar ada hal yang tidak bisa ia hindari.

Malamnya, Zaa sengaja menghabiskan waktu dengan berbaring di rerumputan sekitar telaga. Tak peduli baju atau jilbabnya akan kotor, toh ia bisa mencucinya.

Ujung Tirani (Completed)Where stories live. Discover now