-sedikit kesalah fahaman-

Mulai dari awal
                                    

Tubuh Anisa langsung terdiam saat pria paruh baya yang tak ia kenal itu berkata demikian.

"Emang Ning Farahnya belum punya calon Ar?" tanya abah Raihan pada pria yang duduk di sebrangnya. Dia adalah seorang kyai, dan pria yang di panggil Ar atau Ardi itu adalah teman abah Raihan.

"Ning? Ya Allah, aku pasti akan kalah kalau saingannya ning cantik seperti ini. Pasti abah, umi, dan gus aziz akan menyetujuinya." batin Anisa menahan tangis.

"Kebetulan belum han. Jadi gimana kira-kira nih, apakah setuju?" tanya kyai Ardi.

Erna menepuk tangan Anisa pelan, membuat Anisa tersadar. Kedua gadis itu kembali ke dapur.

"Sore ini mau masak apa teh?" tanya Anisa mencoba untuk biasa-biasa aja. Walaupun hatinya sangat sakit, otak overthinking, setelah mendengar pembicaraan di ruang tamu tadi.

Erna terdiam sebentar. Ia tau Anisa langsung bertanya demikian agar tidak terus kepikiran dengan perbincangan mereka tadi, dan Erna tidak akan membahas tentang perbincangan mereka, selagi Anisa tidak membahasanya.
"Sup ayam, telur dadar, goreng tempe, sama sambel." jawab Erna.

"Bikin sup nya biar aku aja deh, kalau goreng-goreng aku takut gosong" ucap Anisa di akhiri dengan kekehan.

Erna ikut terkekeh. "Yaudah."

Mereka mengambil bahan-bahan masakan dari kulkas, mereka duduk di lantai dan mulai beraksi. Anisa memotong sayur-sayuran serta bakso yang di bagi dua. Erna mengiris-ngiris daun bawang dan cabai merah, lalu di campur dengan kocokan telur.

Sambil memotong wortel, Anisa membatin,
"Ya Allah, aku tidak akan menyalahkan siapapun kalau memang itu terjadi. Mungkin memang aku yang terlalu berharap pada dia di sini, sampai lupa untuk mengaca. Gus dan Ning. Sangat serasi. Sama-sama keturunan kyai dan mempunyai segudang ilmu, itu sudah pasti. Kalau memang dia tidak di takdirkan untukku, takdirkanlah aku dengan sosok lelaki yang terbaik menurut_Mu. Aku tidak tau mana yang terbaik untukku ya Allah, bisa jadi yang terbaik menurutku, di matamu malah sebaliknya."

"ALLAHU AKBAR, ANISA!" tak sadar Erna memekik kaget saat melihat talenan yang di pegang Anisa, berlumuran darah. Darah mengalir dari jari telunjuk dan ibu jarinya.

Anisa terperanjat saat mendengar pekikan Erna, "Hah??! Iya kenapa teh?"

Erna segera bangkit, mengambil tisu di meja makan, kemudian duduk di samping kiri Anisa. Erna mengambil tangan kiri Anisa, "Ini berdarah banyak banget, kamu gak kerasa?" tanya Erna dengan nada khawatirnya sambil mengusap darah yang keluar dari kedua jari Anisa.

Anisa sontak menunduk menatap tangannya, "Eh, kok berdarah? Perasaan tadi enggak deh, teh."

"sebentar, teteh mau ambil p3k dulu di ruang tv ya? Ini di balut dulu sama tisu,, biar darahnya gak keluaran terus"

Anisa mencekal tangan Erna saat gadis itu akan beranjak, "Gak usah teh, nanti aja kalau selesai masak---"

"Ada ap--- YA ALLAH DEK!"

Erna dan Anisa langsung menoleh kompak ke arah pintu masuk area dapur, "G-gus?"

Aziz berjalan cepat menghampiri keduanya, ia berjongkok di samping kanan Anisa. Aziz menyikapkan sarung yang ia pakai, dan melapis tangannya dengan sarung bagian bawahnya. Lalu, ia mengambil alih tangan kiri Anisa dari Erna dengan tangan mereka terhalang oleh kain sarung Aziz, sehingga kulit mereka tidak bersentuhan langsung.

Dikhitbah Anak Kyai ||Telah Terbit||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang