Rindu

6.1K 478 2
                                    

Gama sama sekali tak merasa bersalah dengan ucapannya. Sepenuhnya hal itu memang benar. Sebenarnya Gama tak mempersalahkan Reliya yang selalu datang ke rumahnya atau bahkan mengambil perhatian kedua orang tuanya. Yang Gama mau, Reliya cukup tau diri tentang hal itu.

Dia benci dengan sifat Reliya yang terkesan membuatnya terlihat buruk di depan orang-orang.

"Sialan!" maki Gama kesal.

Dia menatap ke luar jendela kamarnya, melihat Reliya yang baru saja ke luar dari rumahnya. Gama menghela napas lelah, mau bagaimana pun sebenarnya Gama tak bisa benar-benar marah pada gadis itu.

"Gama." Suara lembut Lina membuat Gama membalikkan tubuhnya. Hingga menemukan Lina yang sedang berjalan ke arahnya sambil tersenyum lembut.

"Kenapa, Ma?" tanya Gama.

Lina tersenyum, mengisyaratkan agar Gama duduk di sebelahnya. Gama menurut, dia menatap wanita yang telah melahirkannya dengan tatapan datar.

"Kenapa, Ma?" tanyanya lagi.

"Kamu marah!" tanya Lina. Walau dia tau apa jawaban yang sebenarnya.

"Kamu enggak boleh gitu sama Reliya," ucap Lina sambil mengelus rambut hitam Gama yang sudah mulai memanjang.

"Gama capek sama sikap labilnya, Ma," adu Gama dengan nada tak suka. Lina tersenyum tipis sambil mengangguk, "tapi harus bilang begitu sama Reliya?" Gama sontak menggeleng.

"Kamu tau kan Reliya itu gimana?" Gama kembali mengangguk. Bersama gadis itu sedari kecil, membuat Gama tau benar sikap gadis itu.

"Tapi kamu enggak sepenuhnya tau sama dia, Gama." Gama kembali mengangguk. Terkadang dia merasa Reliya hanyalah orang asing.

"Mama enggak nyalahin kamu atau Reliya. Sebagai orang tua Mama tau kenapa kalian kayak gini." Lina menyentuh kedua tangan putranya, menatap dalam mata tajam milik Gama.

"Jangan sakitin Reliya. Udah cukup orang tuanya buat dia terluka." Gama melepaskan tangannya dari genggaman Lina. "Gama enggak bisa janji, Ma." Lina menghela napas lelah. Dia mengangguk lalu bangkit.

"Jangan lama-lama marahannya," ucap Lina sebelum benar-benar pergi dari kamar Gama.

Gama mengunci kamarnya. Dia kembali menatap jendelanya yang masih terbuka, dia menghela napas kasar. Apakah dia keterlaluan kepada Reliya?

***

Setelah pulang dari rumah Gama. Reliya merebahkan dirinya di ranjang. Dia memeluk guling sambil menatap dinding kamarnya sendu.

"Aku pengen ketemu Bunda," lirihnya.

Dia tak bisa berbohong jika merindukan kedua orang tuanya, bahkan sangat merindukan. Air matanya mengalir begitu saja, mengingat sudah beberapa tahun dia sama sekali tak tau keberadaan kedua orang tuanya.

"Bahkan Reliya hampir lupa wajah kalian," ucapnya.

Sebenarnya dia sering bertanya-tanya. Apa benar kedua orang tuanya mencari uang untuk masa depannya, tetapi kenapa harus sampai selama ini.

"Reli kangen kalian," lirihnya sambil terisak.

Dia menenggelamkan wajahnya ke guling, lalu menangis sejadinya di sana. Dia benar-benar ingin seperti anak-anak lain, dia juga tak mau terlalu egois kepada Gama. Dia tak mau Gama semakin membencinya.

"Reliya." Reliya melebarkan matanya saat mendengar suara seseorang yang sangat ia kenali di depan kamarnya.

Cepat-cepat gadis itu menghapus air matanya, berpura-pura baik-baik saja.

"Hadir!" teriaknya sambil membuka pintu.

Saat wajah Gama terpampang di depannya, Reliya menyengir lebar. Tak menyangka Gama akan datang ke rumahnya setelah apa yang dia lakukan.

"Maaf," ucap Gama tanpa ekspresi. Reliya menggigit bibir bawahnya, rasanya dia ingin memeluk tubuh Gama dan menumpahkan segalanya di sana.

Tanpa Reliya duga. Cowok itu menarik Reliya ke dalam dekapannya, hingga jantung Reliya berdetak dua kali lebih cepat.

"Nangis sepuas lo." Reliya kembali terisak mendengar ucapan Gama. Dia meremas kaos belakang Gama hingga kusut, bahkan baju Gama langsung basah karena air matanya.

"Aku kangen mereka," lirihnya. Gama mengangguk sambil terus mengelus punggung gadis itu. Sama seperti dulu saat Reliya merasa benar-benar sendirian.

"Apa mereka lupa sama aku?"

"Ssttt." Gama menjauhkan tubuh Reliya. Menyelipkan anak rambut gadis itu ke belakang telinga.

"Mereka pasti sayang sama lo," ucap Gama berusaha menenangkan.

"Jadi, bertahan sebentar lagi. Setidaknya demi diri lo sendiri." Tangis Reliya kembali pecah. Dia kembali memeluk Gama erat.

"Sampai kapan?" tanyanya dengan suara serak. Sampai kapan dia harus sabar? Apa kesabarannya belum cukup selama ini.

"Sampai lo nemuin kebahagiaan lainnya," balas Gama.

Tanpa keduanya sadari. Kebahagiaan itu sebenarnya sudah ada di depan mata, tergantung bagaimana mereka menyadarinya.

TBC

Mas Tetangga (End)Where stories live. Discover now