"Baiklah, nona. Tetapi, jika nona sudah merasa lelah. Nona langsung tinggalkan itu saja, nanti biar bibi yang melanjutkannya," ujar Rani dengan tetap tersenyum.

"Iya bibi," jawab Ainsley dengan membalas senyuman Rani. Setelahnya, Rani beranjak masuk ke dalam rumah dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Ainsley tetap menatap Rani sampai beliau masuk ke dalam rumah. Lalu, ia kembali melanjutkan kegiatan mencabut rumput liarnya yang terhenti itu.

Sejenak Ainsley mengistirahatkan tangannya yang sudah mulai terasa lelah itu, dengan meluruskan kakinya ke depan.

Setelah merasa cukup, Ainsley meletakkan tangannya di belakang tubuhnya, menahan tubuhnya dengan kepala yang ia hadapkan ke atas dengan kaki yang masih di luruskan. Tampaknya, matahari masih belum menampakkan dirinya di langit pagi yang cerah. Hanya sebentar ia menatap ke atas, lalu ia mengalihkan pandangannya ke depan, lebih tepatnya menatap ke lima bodyguard yang masih menatapnya itu.

Awalnya Ainsley heran, kenapa para bodyguard menatap dirinya. Namun, ia berusaha tidak mempedulikannya dan malah tersenyum kepada mereka, yang di balas oleh 3 orang saja. Kalau, bodyguardnya yang berumur 19 dan 17 tahun, memang memiliki karakter yang dingin dan cuek, jadi mereka jarang tersenyum. Namun, Ainsley tidak apa-apa akan hal itu. Karena, ia tahu bahwa semua orang itu tidak memiliki karakter atau sikap yang sama.

Mereka semua menggunakan pakaian serba hitam, namun masih terlihat gagah dan tampan.

Dengan pelan, Ainsley mencoba untuk berdiri, ia hampir jatuh karena tidak menjaga keseimbangannya, jika saja tidak ada tangan yang menggenggam erat tangannya, mungkin ia sudah jatuh. "Hati-hati," tukas bodyguard berumur 19 tahun, yang bernama Arwarkh Fauzi Ashlahi. Pria blasteran Indonesia-Turki itu masih memegang tangan Ainsley, dan menatap dirinya dengan tatapan tajamnya.

"Makasih kak," ucap Ainsley dengan tersenyum tipis. Sedetik kemudian, Ainsley terkejut ketika tatapan tajam Azi berubah menjadi tatapan lembut dengan dia tersenyum tipis, dengan gugup Ainsley membalas senyuman itu.

Ainsley memang memanggilnya dengan panggilan Azi, karena nama dari pria itu sangatlah susah untuk di ucapkan olehnya, jadilah ia memanggilnya dengan Azi saja. Sedangkan orang lain memanggilnya, Arfa.

Azi kembali ke gerbang setelah melepas pegangan tangannya. Ainsley terkadang terkejut akan perubahan sikap Azi yang secara tiba-tiba seperti tadi. Azi adalah sosok pria yang susah untuk di tebak. Raut wajahnya kadang datar tanpa ekspresi atau kadang tidak terbaca dengan di ikuti tatapannya juga.

Karena, sudah merasa lelah. Ainsley memutuskan untuk masuk ke rumah nya saja. Setelah dirinya yang memberikan senyuman dan membungkukkan tubuhnya sedikit kepada para bodyguard, pertanda bahwa dia ingin pamit masuk ke dalam rumah, yang di balas oleh anggukan kepala oleh mereka semua.

Ainsley masuk ke dalam rumah, lalu menutup pintu rumahnya. Ia menuju ke dapur terlebih dahulu, untuk melihat dan menyapa Fida dan mungkin Geffie juga sudah bangun.

"Assalamu'alaikum mama cantik," ujar Ainsley dengan tersenyum manis dan memeluk Fida dari belakang.

"Wa'alaikumssalam," jawab Fida dengan membalikkan tubuhnya, menghadap Ainsley.

"Astaghfirullah Ainsley! Baju kamu kotor karena apa, nak?" tanya Fida dengan memegang tangan kanan Ainsley.

"Hehe, Ainsley baru saja selesai mencabuti rumput liar di halaman rumah," jawab Ainsley dengan tersenyum manis.

"Kak Geffie belum bangun?" tanya Ainsley dengan tatapan yang meneliti dapur untuk melihat di mana keberadaan kakak iparnya itu.

"Sudah. Tadi sempat membantu mama sedikit, lalu pergi ke kamarnya lagi karena Ardan telah bangun dan meneriaki nama mamanya," jawab Fida dengan tertawa kecil ketika mengingat kejadian tadi, dengan kembali menghadap ke kompor gas karena dirinya sedang memasak.

PARALYSED [END]Where stories live. Discover now