12. Permainan Dunia

Start from the beginning
                                    

"Hah?" Aku ngejawab dengan wajah bantal.

Wajahnya gak santai banget gilak. Dikira aku takut? Takut banget, coi. Matanya tuh keluar butiran emas, tapi gak menyejukkan mata.

"Bisa ngomong, 'kan? Juga, siapa yang ngijinin lo tidur disini?" Sinta sinting.

Kan dia sendiri yang nyuruh aku tidur. Eh? Oh iya juga, ngapain aku tidur disni?

Aku bangun dengan rasa malas. Pokoknya, mau gimanapun kondisinya, kalau emang pada dasarnya ngantuk, ya tak singkirin dulu semuanya.

"Keluar!" Galak banget, seh.

Jalan sempoyongan itu gak enak asli. Nyawaku ini belum sepenuhnya terkumpul.

"Sinta! Sinta, Argas darurat!"

Kami berpandangan sebentar dengan manusia bernama Sinta itu. Seolah mencerna munculnya suara tersebut, aku membulat. Lah? Itu kan Santi! Eh, suaraku!

"Argas..," Tanpa ngomong lagi, dia pergi ninggalin aku.

Eh? Minimal dikasih makan dulu nih mahkluk asing. Keroncongan nih perut!

"Argas?" gumamku sadar. Argas brengsek maksudnya?

---

Cuih!

Aku kaget bukan main. Gumpalan darah keluar dari mulut Argas. Si Gembrot itu kayaknya emang bermasalah. Dia keliatan pucet banget.

Apa jangan-jangan..., Argas mau mati? Aih? Gak, gak!

Mau sekejam apapun si Gembrot dan sejelek apapun, aku ngerasa gak ikhlas. Aku langsung jongkok di bawah jendela, takut ketahuan.

Satu hal yang bikin aku penasaran. Si Pencabut—Sinta itu deket banget sama si Argas. Dia bahkan meluk Argas.

Terus..., si Angle kemana? Alurnya bener-bener gak gampang dipahami.

"Bapak udah nelpon pihak rumah sakit. Kamu makan telur rebus dulu," ujar Ibuknya Argas yang sejujurnya pertama kali liat orang tuanya sebagai itu.

Soalnya, setauku orang tuanya Argas gak peduliin anaknya. Bisa beda gitu, yak.

"Alangkah baiknya kamu minum susu, nak." Nenek?

Spontan aku bangkit ngeliat nenek. Nenek masih sehat? Aku nelen ludah saking terharu.

Semoga nenek sehat— "Siapa itu?!"

Duk! Amjink banget. Sakit banget, cok! Cenat cenut nih kelapa.

"Gak ada siapapun, Nek. Jangan sensitif dulu." Aku—Santi dua ngomong gitu.

"Nenek istirahat aja dulu, masih pagi." Ibu ngomong begitu.

Selanjutnya bisa kurasakan Nenek keluar rumah dan duduk di teras. Hah.., masih begitu, ya? Nenek gak diurus.

Aku jalan cepat sambil jongkok, berkeliling rumah demi ngintip Nenek. Dan ternyata bener. Rambut Nenek gak pernah disisir. Kenapa sebenarnya? Bukannya Nenek selalu baik?

"Kamu jadi pulang hari ini?"

"Liat kondisi Argas dulu. Suamiku bantu sampai Argas sembuh." Hm? Ayah jadi dokter?

"Nanti biaya bensinnya aku ganti." Tante munafik sok baik. Oh..,

Uekk!

"Argas!" Aku ngeliat sekitar. Sejujurnya gak nenangin banget hidup di dunia ini.

Aku takut ketahuan, juga takut hilang kendali. Gimanapun juga, gak ada yang beda di dunia ini. Hanya takdir yang berbeda.

Disekitarku juga gak bersih. Seingatku di Dunia brengsek itu halaman rumah gak sekotor ini. Juga di taman selalu ada bunga mawar dan melati menghiasi. Gak kayak rumah ini. Boro-boro ada bunga, yang kuliat hanya debu ngedempul.

"Sinta bantu Argas ganti baju," cakap tante munafik cabul.

Aku melotot kaget. Maksudnya apa?! "Baik, tante." Lah? Malah distujui!

Baru mau teriak, untungnya si Santi dua itu ngomong. "Lebih baik pakai baju gelap. Ini darahnya banyak banget."

Woah, sekarat tuh Gembrot? Otw mati dong?

Tapi kalo didenger lagi, suaraku di Dunia ini lembutnya seperti kain sutra. Dari suaranya aja, kedengeran orang baik.

Aih, aku kan memang baik.

Nah itu dia. Mobil yang ditunggu. Amjay, Ayah punya mobil baru. Mana mobil disini lebih kece lagi.

"Ayo naik." Argas dibopong bapak munafik, "semuanya boleh ikut kecuali Nenek."

Mulut siape tu? Keadilan ape tu? "Nenek diem aja disini. Mau ngehirup udara penyakit disana? Makan sendiri disini dulu." Ish! Bajingan banget.

Aku langsung keluar dari persembunyian karena gak tega ngeliat Nenek menyendiri.

--

Salam, 11Mei2023

TABELARDWhere stories live. Discover now