4. Dia Sebuah Angin

66 32 35
                                    

Bagian Empat: Dia Sebuah Angin

----


Argas menempelkan mayat Capung ke wajahku. Aku pasrah saja. Biarin mereka yang menanggung dosa, aku akan menjadi saksi untuk itu. Habisnya mereka kekanakan banget.

Lihat, dengan penuh semangat kedua temannya itu menangkap Capung yang tidak bersalah. Sekarang lagi musim Capung memang. Tapi, apa harus dimusnahkan begitu saja? Aku dengar populasi Capung sekarang kian menipis. Mereka mencabut sayap Capung itu, hingga mereka kemudian mati.

Sungguh kasihan. Aku memandangi mayat Capung yang ada di telapak tangan. Dia sangat lemah. Kemudian garis muncul diantara alisku. Aku berteriak lantang.

"ARGAS PEMBUNUH!" teriakku.

Bukannya takut, Argas malah menjulurkan lidah seolah itu memang kebenarannya. Aku berdecak kesal. Kesal karena aku terlena dan ingin ikut bersama mereka untuk membunuh Capung.

Aku menghampiri Angle dengan membawa sapu. Ternyata, Angle berbeda dengan Argas. Dia memang menangkap Capung, tapi tidak membunuh bahkan menyiksanya. Melainkan dia mengurungnya.

Itu.., termasuk penyiksaan? Tidak kok. Karena setelahnya aku memberi makan para Capung itu.

Aku memanggil Angle, "Angle, gantian. Aku mau nangkap Capungnya."

Angle melirikku sebentar, kemudian mendiamiku hingga aku kesal. "Angle!" rajukku.

"Kamu kan ada sapu," jawabnya.

Ini suara Angle kedengarannya kayak lagi marah. Aku juga bingung sekaligus heran. Setiap aku ikut bermain dengan Argas, pasti Angle langsung mendiamiku. Sebaliknya, jika aku diam saja, maka mereka akan asik bermain berduaan.

Aku tidak suka begitu. Aku cemburu. Kita kan, sahabatan. Kenapa rasanya seperti Angle menjauhiku? Tiba-tiba saja aku ingin menangis.

"Angle," panggilku, "apasih? Cari sendiri."

Tuhkan. Angle menatapku sinis. Mataku berkaca-kaca. "Aku mau pulang."

"Kok Santi pulang sekarang? Belum sore," ujar Argas menghampiriku.

Aku menangis sesegukan. "Mau pulang," kataku berlinang air mata.

Biar saja, pokoknya aku pengen pulang. Hawa sekitar menakutiku. Perasaanku berkata bahwa aku harus segera pergi dari sini.

"Aku ada salah? Kamu kenapa nangis?" Argas bertanya cemas.

Aku menatapnya tajam. Masa dia gak peka? Udah tau aku gak nyaman disini. Sekali lirik, tatapan Angle menusukku hingga ke paru-paru.

"Main aja sini, Argas." Angle menarik Argas melalui ucapan.

Aku menelan ludah, menatap Argas lagi. Memencet tombol berlemak itu, aku lalu menyeka air mata di pipiku. Sakit hati tau aku yang imut ini denger ucapan Angle barusan. Argas kan punyaku juga. Kenapa aku tidak diajak?

"Mau main di rumah Argas," cakapku membuat kerutan muncul di dahi Angle.

Argas mengambil sapunya, kemudian memberikan kepadaku. "Ayo main bareng," ajaknya seraya tersenyum.

Aku diam. Diam-diam melirik Angle maksudnya. Duh, tatapan Angle menusuk lagi. Gak enak banget diliat begitu. Aku masih kecil, tau. Aku mengangguk mengajak Angle, tapi Angle memutar bola matanya sinis.

Hah? Wah, Angle memang jago akting. Akting marah maksudnya. Tanpa kata, melalui mimik wajah saja sudah membuatku ketar-ketir.

"Main sini." Angle berdiri di sebelahku. Tuhkan, aku ingin pergi saja. Angle seolah berkata sebaliknya. Aku ini ngerti apa maksud mereka. Keras banget hidupku.

TABELARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang