BAB 10 : SADAM MARAH

70.6K 7.3K 1.7K
                                    

"Pada dasarnya tidak ada wanita yang akan siap untuk di madu. Bahkan tidak akan pernah siap"


"Sayang, apa maksud kamu ngomong gitu?" panik Sadam ketakutan. Apapun bentuk perpisahannya Sadam tidak bisa dan tidak akan pernah bisa jika itu dengan Nabilanya.

"Nabila cuma nanya, Mas." jawab Nabila sambil mengelus rahang tegas milik suaminya.

"Buat apa menanyakan hal-hal yang udah pasti tidak akan pernah terjadi, hmm? Kamu ngga mau liat suami kamu marah kan, Sayang?" Nabila tidak menyesal menanyakan hal itu meski kini ia harus mendapat tatapan kemarahan dari suaminya.

Sesungguhnya, Nabila tidak ingin membuat suaminya marah. Demi Allah ia tidak ingin Allah murka kepadanya tapi, jika kenyataanya suaminyalah yang sudah membuatnya marah dan terluka, apakah Allah juga akan murka?

"Maafin Bila, Mas." lirih Nabila mengalah.

"Ingat baik-baik, Sayang. Ini akan menjadi perintah dari seorang suami kepada istrinya dan kamu wajib mematuhinya!"

Sadam meraup wajahnya kasar, ia cemas dan ketakutan bahkan hanya dengan mendengar kata perpisahan dari bibir manis istrinya itu.

Sedangkan Nabila masih menunggu kalimat selanjutnya dari yang akan suaminya ucapkan.

"Dengar baik-baik, Sayang! Tidak. Akan. Ada. Perpisahan. Diantara kita selain sebuah kematian." tekan Sadam memperingati istrinya.

Sadam berpikir Apakah karena tertidur terlalu lama membuat perilaku istrinyanya berubah? Sudah jelas tidak mungkin.

Atau

Ngga. Nabila ngga mungkin sudah mengetahui semua kesalahan yang dirinya perbuat semasa istrinya itu koma.

Tidak sekarang ya Allah

"Iyah, Mas. Alhamdulillah Nabila masih di beri kesembuhan untuk tetap hidup. Meski rasanya Nabila lebih baik mati bersama calon bayi kita saat kecelakaan itu."

"NABILAA!" teriak Sadam semakin marah.

Demi Allah mereka bahkan baru saja melepas rindu setelah beberapa tahun tidak bisa saling menantap atau memeluk satu sama lain, tapi sekarang mereka sudah di hadapkan oleh sebuah pertengkaran yang bahkan tidak masuk akal bagi Sadam.

Selama ini pertengkaran mereka hanyal masalah sepele dan berujung dengan kemesraan karena mereka tidak pernah membawa-bawa kata perpisahan seperti kali ini.

Sadam bahkan sampai berteriak terbawa emosi tanpa bisa di tahan.

Hingga suara isakan terdengar dari sang istri, Sadam langsung menarik napas berusaha meredakan kemarahannya. "Maaf, Mas." suara terisak itu semakin keras.

"Maafin Mas juga, maaf. Mas marah kalau kamu bilang ikut pergi sama calon anak kita. Kalian hidup, Mas. Mas udah kehilangan dia sayang dan Mas ngga mau harus kehilangan kamu juga." ujar Sadam yang langsung membawa tubuh bergetar istri yang teramat ia cintai itu ke dalam pelukannya.

"Maaf, ini semua karena Mas. Andai kalian tidak menolong Mas waktu itu, pasti sekarang anak kita sedang berlarian dengan kaki kecilnya mengejar ayam jago, Mang Imad." Sadam sedikit menambahkan hal lucu di akhir kalimatnya untuk mencairkan keadaan menegangkan diantara ia dan istrinya tadi.

Nabila menggeleng di dalam pelukan suaminya, ia tidak mau Sadam malah menyalahkan dirinya sendiri atas kematian putra mereka.

"Bukan salah, Mas."

"Berarti kamu juga jangan bilang ingin ikut pergi bersama anak kita yang sudah tenang bersama Allah, sayang. Mas ngga mau kamu ngomong meninggal meninggal. Kamu mau Mas gila karena ditinggal kalian, hmm?"

Perjanjian Dua Surga (END | LENGKAP)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin