26. MAGIC RIVER

19 7 0
                                    

Sore hari menjelang matahari terbenam untuk digantikan sang bulan, aku tengah menyusuri sebuah sungai kecil yang cukup tenang. Disebelahku Aline tampak berjalan dengan lesu, sesekali bibirnya menggerutu kakinya yang sakitlah, ranselnya yang berat, atau perutnya yang keroncongan. Percayalah, jika aku punya cukup tenaga maka aku akan berteriak padanya bahwa aku juga merasakan hal yang sama.

Kehidupan menjadi pengelana setengah buronan bukanlah hal yang mudah. Kami berdua tidak bisa berdiam disuatu tempat leboh dari sehari, kadang-kadang kehabisan makanan, kadang kehilangan uang, harus berteduh dalam gua yang gelap dan yang paling parah dari semua itu adalah kami tidak tahu mau kemana.

Terusir dari desa atas tindakan yang bukan kami lakukan, menerima akibat sebagai manusia buangan yang kini sedang dicari banyak orang entah untuk alasan apa. Tak jarang kami menyamar dan memiliki sejuta cerita, berbagai nama samara dan sejarah kehidupan yang terus berganti.

"Apa tidak seharusnya kita berkemah disini Jes?" Aline mulai kehabisan tenaga.

Aku menghela napas kasar, tapi ia benar kami berdua sudah seharian berjalan mengikuti arus sungai. Kami lelah, lapar dan terlalu malas untuk mendirikan tenda.

Setelah berkutat cukup lama dengan kemalasan yang melanda akhirnya aku dan Aline akhirnya membagi tugas. Aku mencari makanan di sungai, ia mendirikan tenda lantas membuat api unggun.

"Menurutmu apa yang bisa kita dapatkan untuk makan malam?" Aline tampak penasaran.

"Well, apakah kau suka jenis kerang-kerangan? Aku punya banyak disini," jawabku sambil mengarahkan lentera kea rah air.

Hari semakin gelap, sesekali awan melintas membuat bulan tak mampu menyinari tempat kami. Masih berkutat dengan beberapa kerang yang aku simpan dalam keranjang kecil yang kubawa tiba-tiba.

"Aaarrrgh," Kau menjerit, terkejut sekaligus panic saat kurasakan sesuatu menarik kakiku kencang. Ia menyeretku mengikuti arus sungai,

"Aline Tolong! TOLONG! Aline!!" aku berterika disela air yang masuk kedalam mulut dan hidungku.

Kulihat sahabatku itu tampak mengejar.

"Jes, pegang tanganku," Aline menjulurkan tangannya tapi sia-sia benda yang sepertinya jerat tumbuhan itu menarikku semakinkencang ditambah arus sungai yang deras. Aku tidak bisa menggapai tangan Aline kami terpisah.

Aku tak ingat persis apa yang terjadi tapi aku terbangun disuatu tempat dibawah sebuah pohon beringin besar. Tampak gagah sekaligus misterius dibawah sinar mentari.

" Dimana aku?" tanyaku pada diri sendiri. Jelas tidak ada orang disekitarku saat ini.

" Ditempat yang seharusnya kurasa," sebuah suara serak menjawab.

" Siapa kau? Apa maksudmu tempat yang seharusnya?" jawabku panic. Aku yakin tidak ada seorangpun disini selain aku.

" Diatas sini gadis kecil. Tentu saja yang aku maksud kau seharusnya ada didaratan,"

Aku mendongak memeriksa siapa yang bicara. Seekor burung beo, ia tampak menatapku dalam seperti selama ini ia telah mengawasiku.

"Kau burung beo," ucapku mengerutkan kening. Maksudku apakah kau pernah bertemu dengan burung yang benar-benar bisa bicara dengan lancar?"

"Tentu saja Nona muda, apakah matamu melihat aku sebagai burung merpati?" tanyanya agak sewot.

" Maaf, apakah aku tahu apa yang sebenarnya terjadi?"

Burung Beo itu menceritakan dengan cepat apa yang ia lihat malam itu. Sebuah tumbuhan ajaib bernama 'Akar Jerat Penasaran' menarikku menuju pohon beringin raksasa ini. Ia tertarik dengan aura ku atau entahlah aku tidak paham. Lantas akar jerat penasaran itu melemparku ke tepi sungai saat aku mulai kehabisan napas.

" Lalu apa yang terjadi dengan Aline?" tanyaku segera. Aku teringat kami terpisah dan aku tidak tahu bagaimana kondisinya.

" Maksudmu gadis malang yang sedang terjebak di akar gantung itu?"

" Hah? Terjerat?" tanyaku makin panic.

" Dimana? Dimana dia sekarang?" desakku pada burung itu.

" Aku tidak ingat, sebentar ku pikir-pikir dulu," burung itu tampak memiringkan kepalanya.

" Ah kenapa kau tidak bertanya pada sungai ajaib saja?" jawabnya seketika.

Aku menggeleng sambil mengerutkan kening tanda tak mengerti maksudnya.

"Sungai itu Nona muda, dia sungai ajaib tanyakan saja apapun, dia bisa menjawabnya dengan tepat," belum sempat aku bertanya lagi burung itu sudah melesat terbang menjauh sambil mengucapkan selamat tinggal.

Aku mendekati sungai itu, menghela napas panjang sambil berpikir bagaimana cara yang tepat 'bertanya' pada sungai. Lantas aku terpikir satu hal, segera saja aku mencelupkan kedua tanganku dan memejamkan mata, berusaha konsentrasi semaksimal mungkin.

" Aku ingin tahu dimana Aline berada sekarang,"

Sontak saja sebuah bayangan terbentuk dikepalaku, aliran sungai bebatuan didasarnya, ikan-ikan yang berenang, tumbuhan air dan banyak hewan lain di dalam sungai itu semuanya tergambar jelas dikepalaku. Gambaran itu tampak bergerak menuju suatu tempat lantas berhenti. Disana, diatas permukaan sungai Aline tampak kesulitan, ia tengah terjerat akar gantung dari sebuah pohon beringin besar.

Aku membuka mata dengan perasaan yang tidak bisa kujelaskan. Segera saja aku berjalan menyusuri sungai dengan cepat sesuai gambaran di kepalaku. Tak lama kutemukan Aline disana.

"Aline!"

"Jes? Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan nada lega.

"Bertahanlah aku akan menyelamatkanmu," perlu waktu cukup lama untuk menguraikan akar-kar itu dan mengeluarkan Aline dari jeratan akar gantung.

" Syukurlah kau baik-baik saja. Aku khawatir sekali padamu," ucap Aline sambil memlukku erat.

" Aku juga," balasku tak kalah erat memeluknya.

THE END


Selenophile [END]Where stories live. Discover now