13. THE MAGIC MIRROR

15 9 0
                                    

Hari senin pagi gerimis mengguyur kota saat aku dan kedua orangtuaku melakukan sarapan bersama sebelum berangkat sekolah. Pagi itu, Mama tampak gesit memasak omelet dan sayur, juga menyiapkan nasi hangat di piring masing-masing. Belum lagi cucian yang menumpuk di wastafel dan suara mesin cuci pakaian yang sedang bekerja. Semantara Papa tampak santai membaca surat kabar terkini menikmati the hangat sambil menunggu sarapan siap. Suara gemericik air diluar seperti beradu dengan suara penggorengan dan pengaduk yang saling bertemu.

Hari ini aku santai menunggu waktu berangkat sekolah, sudah pasti anak-anak lain akan banyak yang terlambat lagipula aku tidak perlu khawatir dengan upacara yang sudah pasti gagal dilaksanakan pagi ini.

"Pemerintah makin aneh saja, mereka menggelontorkan banyak biaya untuk proyek alat transportasi portal. Kenapa tidak fokus saja pada rakyat yang kelaparan?" suara Papa menginterupsi dari balik Koran yang ia baca.

"Mungkin itu akan menghemat banyak anggaran di masa depan Pa, jadi dananya bisa dialokasikan pada rakyat yang kurang mampu," sahut Mama yang kini menungkan menu sarapan diatas meja. Segera saja Papa menurunkan korannya dan bersiap sarapan.

"Yah, kita bisa bahas masalah pemerintah nanti. Sekarang kita selesaikan masalah perut dulu," ucap Papa yang membuat kami berdua tertawa.

Aku senang suasana tiap pagi begini, kami bertiga akan berkumpul dan sarapan bersama. Mencomot sembarang pembicaraan dan berujung tertawa bersama. Sebuah momen setiap pagi yang membuatku bersyukur bahwa aku dilahirkan dikeluarga yang sangat menyenangkan. Yaah, segala sesuatu memang tidak akan berlangsung selamanya bukan? Sama halnya dengan kesenangan di keluarga kami yang hanya sementara.

Suatu hari, saat aku pulang dari sekolah seperti biasanya Mama akan menyambutku dibalik pagar dan memintaku segera makan siang, berganti baju dan membantu pekerjaan rumah. Tapi hari ini tidak seorangpun yang membukakan pagar, pagar rumahku sudah terbuka lebar dengan bendera kecil berwarna kuning yang menancap disampingnya. Rumahku mendadak ramai orang berpakaian serba hitam dan suara tangis terdengar dimana-mana.

Segera saja, perasaan panic, khawatir, takut, gelisah dan ingin tahu bercampur membuatku merangsek dikerumunan dan jatuh terduduk ketika melihat Papa terbaring kaku ditengah ruangan. Mama tampak histeris memeluk Papa yang tampak tertidur sangat lelap sampai tidak bisa bangun lagi. Aku melihat kejadian itu dalam diam, semua suara disekitarku mendadak samar dan penglihatanku mengabur. Pipiku basah oleh cairan yang terus mengalir tanpa bisa kuhentikan. Aku menggeleng tidak percaya. Aku yakin ini semua hanya mimpi, dan aku harap aku segera bangun dari mimpi buruk ini.

Percumah saja menganggap semua itu adalah mimpi buruk. Nyatanya sudah seminggu sejak kejadian itu dan aku tidak pernah bangun dari mimpi ini. Tidak ada lagi obrolan seru setiap sarapan pagi, tidak ada lagi orang yang sering membaca Koran setiap pagi dan berkomentar sembarangan untuk mencairkan suasana. Tidak ada lagi.

Aku harus beradaptasi dengan kenyataan pahit yang sulit diterima ini. Mama harus bekerja untuk kami berdua dan jarang sekali aku bertemu dengannya. Setiap pagi saat sarapan Mama sudah berangkat dan meninggalkan seporsi makanan beserta sepucuk surat yang sama setiap harinya.

Mama berangkat sayang, jadilah anak baik dan belajarlah yang rajin. I Love You.

Jika malam tiba, sampai aku jatuh tertidur tanpa sengaja Mama baru pulang. Kami jarang sekali mengobrol. Bertemu saja hampir tidak pernah padahal tinggal di rumah yang sama.

Malam itu aku duduk dibalik jendela kamar menatap bulan dan bintang yang tampak anggun dilangit. Jalanan tampak ramai oleh kendaraan yang lalu-lalang. Mama belum juga pulang padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Bosan hanya melamun dipinggir jendela aku memutuskan masuk dan duduk ditepi ranjang, didepanku tampak cermin yang memantulkan bayanganku dengan wajah lesu dan suasan hati yang tidak pernah membaik.

Selenophile [END]Where stories live. Discover now