6. FLOWERWINGS

34 15 0
                                    

Malam itu hujan turun dengan deras disertai kilatan cahaya dan disusul suara gemuruh. Udara dingin menusuk kulit beradu dengan hangatnya perapian yang menyala. Aku tengah sendirian dirumah menunggu ayah dan ibuku yang seharusnya sudah pulang sedari tadi. Mereka pergi ke kota untuk menjual hewan ternak yang jaraknya sekitar setengah hari perjalanan menggunakan kuda.

"Semoga mereka baik-baik saja," batinku.

Aku berbaring diatas sofa tua yang mulai lapuk. Disana-sini bertengger lubang-lubang bekas gigitan rayap, sesekali sofa itu akan berderit setiap kali aku merubah posisiku. Suara gemeretak kayu yang dibakar, bersama dengan tetesan air yang menyentuh tanah seperti music yang merdu mengantarkanku pada tidur yang lelap.

***

Aku terbangun ketika sinar matahari membuat mataku terasas silau. Udara disekitarku terasa hangat dan sofa yang tiduri lebih terasa seperti karpet yang beraoma seperti rumput. Aku mengubah posisi tidurku menjadi duduk dan mengerjapkan mata beberapa kali sampai aku merasa ada yang tidak beres.

Aku sangat terkejut saat mendapati aku tidak lagi berada diatas sofa, tidak ada lagi perapian dan suara hujan. Aku berada di sebuah tanah lapang yang dikelilingi dengan hutan lebat. Tempat itu tertimba sinar matahari yang hangat dan beberapa dedaunan meneteskan sisa-sisa embun mereka.

Disekelilingku tampak hewan-hewan berjalan kesana kemari seolah sudah terbiasa dengan keberadaanku. Beberapa kelinci saling melompat mengejar satu sama lain, beberapa meter dari tempatku berada tampak gerombolan kupu-kupu warna-warni yang sedang mengitari bunga. Kadang sesekali terlihat kucing hutan berwarna keabuan melintas melewatiku dengan tenang.

Bagaimana aku bisa sampai kesini?

" Hei! Apa yang kau lakukan disini?" sebuah suara membuatku menoleh.

"AAAhh!!"

Aku menjerit ketakutan sekaligus terkejut melihat siapa yang bicara. Jika dilihat sekilas bentuknya seperti setangkai bunga, hanya saja terdapat wajah kecil dengan telinga runcing dan sepasang tangan serta kaki. Dibagian entahlah mungkin bisa disebut punggung terdapat sepasang sayap transparan. Mereka ada dua satu berwarna merah seperti bunga mawar dan satunya berwarna biru mirip bunga tulip.

"Hei! Kecilkan suaramu itu," ucap si bunga mawar dengan galak.

"Ka..kalian siapa?" tanyaku terbata.

" Kami siapa heh? Harusnya aku yang bertanya siapa kau?" sekali lagi si bunga mawar berkata dengan ketus.

"Namaku Alkina," jawabku.

" Alkina? Kau tahu nama itu artinya bulan?" kali ini si bunga tulip yang bicara. Suaranya dalam dan lembut berbeda dengan si mawar yang suaranya melengking.

Aku menggeleng sebagai jawaban.

"Kau punya nama yang indah. Namaku Donella dan ini Prilia," aku mengangguk sebagai tanda mengerti. Si tulip bernama Donella dan Si mawar bernama Prilia.

"Kami seorang peri, dan kau?" sambungnya.

Aku terbelalak saat mendengar ucapan Donella. Mereka adalah seorang peri. Peri sungguhan?

"Ehem," Prilia yang melihatku terdiam berdeham keras sebagai tanda menunggu jawaban.

"Ah eeh aku adalah seorang manusia," mendengar jawabanku mereka tampak mengernyit.

"Apa itu manusia?" kali ini Prilia bersuara.

"Kau seperti kera tapi tidak punya ekor dan bulu, kepalamu seperti duyung tapi kau bisa berjalan dengan dua kaki seperti troll, kau juga tidak punya janggut dan terlalu tinggi untuk jadi kurcaci dan telingamu.."

Selenophile [END]Where stories live. Discover now