24. TELEKINETIK

16 7 0
                                    

Suatu pagi entah di hari keberapa aku melakukan perjalanan bersama dua sahabatku jauh dari rumah seseorang menggedor pintu penginapan kami dengan kencang. Aku terbangun dengan kantuk yang membuat badanku berat untuk meninggalkan tempat tidur. Semakin kencang gedoran pintu membuat telingaku memekak rasanya. Melihat kedua temanku enggan beranjak membuka pintu maka aku memutuskan untuk mengalah.

Aku membuka pintu dan mendapati ibu pemilik penginapan tampak panic dan ketakutan. Ia menangis kencang meminta tolong kepadaku sambil bersimpuh. Wanita tua itu tampak malang sekali membuatku sangat iba.

“Apa yang terjadi nyonya?” tanyaku akhirnya.

“Tolong, tolonglah aku nak, kumohon. Mereka membawa anak laki-lakiku pergi kumohon nak selamatkan anakku,”

“Apa? Siapa? Pergi kemana?” tanyaku masih belum sadar seutuhnya.

“Para penjajah dari utara, mereka mengambil anakku semalam,”

“Tapi kenapa mereka membawa anakmu Nyonya?” tanyaku segera. Penjajah dari utara sialan itu, sekumpulan orang asing yang telah menjajah tanah ini lebih dari lima tahun.

“Mereka menaikkan pajak bulanan dua kali lipat, aku tak bisa membayarnya. Mereka membawa anakku sebagai ganti untuk membayar pajak,”

“Lalu mereka membawa anakmu kemana Nyonya?” Wanita itu menggeleng sebagai jawaban. ia masih menangis tersedu membuatku makin iba saja.

Aku memegang bahunya erat memintanya untuk segera pulang dan menenangkan diri, lantas enatah kenapa mulutku dengan lancangnya berkata pasti akan membawa anaknya pulang. Wanita itu mengangguk tampak secercah harapan di matanya lantas ia segera pulang.

Aku merasa panic begitu ia meninggalkan tempat penginapan kami. Dengan kasar aku membangunkan kedua temanku yang masih asyik terlelap dalam mimpi mereka.
“Bangun teman-teman! Ayo bangun! Ada masalah darurat sekarang,”

“Emhhh masalah darurat apa yang lebih penting daripada tidur yang cukup?”

“Anak pemilik penginapan kita dibawa penajajah utara,” jawabku cepat.

“Astaga! Yang benar saja? Kau yakin?” salah satu temanku mendadak terbangun.

“ Nyonya itu baru saja kemari. Ia meminta bantuan kita untuk menyelamatkan anaknya,”

“ Yang benar saja! Bagaimana bisa kita mengalahkan penjajah utara?”

Yep! Pertanyaan bagus. Aku juga tidak tahu harus bagaimana sebenarnya. Tapi melihat bagaimana seorang ibu kehilangan anak satu-satunya aku tidak bisa jika harus diam saja.

“Kau ada rencana?” mereka berdua menatapku menunggu jawaban. tentu saja aku tidak punya, tapi bagaimanapun juga aku harus menyelamatkan anak laki-laki itu.

“Aku rasa aku harus tertangkap penjajah utara lebih dulu,” jawabku mantap.

“Apa kau Gila!!”

“ Kalau Kau tertangkap lantas bagaimana dengan perjalanan kita? Bagaimana kau bisa menjamin akan berhasil kabur dari sana?”

“ Aku belum tahu, tapi yang penting aku harus menemukan anak laki-laki itu,”

“ Kau bodoh? Masuk ke sarang musuh tanpa rencana itu sama saja bunuh diri kau tahu?”
Aku mengangguk, tentu saja aku paham. Tapi aku sudah berjanji aku akan menyelamatkan anaknya. Cukup lama kami berdiskusi yang didominasi perdebatan akhirnya kami sepakat dengan sebuah rencana yang sejujurnya bisa dibilang sembrono.

Menjelang siang setelah sarapan kami turun ke kota dan berusaha  merealisasikan rencan kami. Tiba disebuah tempat belanja tradisional aku melihat dua penjaga dari kumpulan penjajah utara sedang melakukan patrol.

Segera aku berlari dengan kencang dan sengaja menabrak salah satu dari petugas patrol.

“Hey! Lihat-lihat gadis kecil,” seseorang menegurku. Ternyata petugas yang aku tabrak tadi.

“Oh maafkan aku tuan, tapi sepertinya kau yang tidak menggunakan matamu dengan baik,” jawabku menantang.

“ Apa maksudmu hah?” petugas patrol itu tampak menunjukkan senjatanya tanda mengancam.

“Maksudku kau mungkin buta, rabun atau kau sudah lupa cara berjalan yang benar,” jawabku menantang.

“Berhenti bermain-main dengan mulutmu itu atau kau rasakan akibatnya dasar bocah!”

“Oh ya! Mungkin kau yang harus bermain-main dengan penduduk kota ini. Berhenti menindas kami dan hengkang dari tanah kami dasar penjajah sialan,” jawabku lantang yang langsung memancin amarahnya.

Dalam hati aku tersenyum puas dia mudah terpancing ternayata. Ditambah kawannya juga tampak mudah termakan emosi. Dan yah mudah saja aku ditangkap oleh mereka dan ditahan. Semua berjalan sesuai rencana, kulirik kedua temanku yang mengawasi dari jauh mereka juga siap mengikuti kami.

Aku dibawa kesebuah bangunan besar terbuat daru bebatuan yang disusun membentuk tembok tebal yang kokoh. Begitu kami melewati pintu besi besar kulihat banyak orang yang ditahan tampak sedang melakukan kerja paksa. Wajah mereka menunjukkan keputus asaan yang mendalam.

Mataku gesit menatap satu persatu tahanan yag kutemui lantas aku menemukan sosok laki-laki muda berambut panjang sebahu yang terikat tengah sibuk memukul batuan besar menjadi kepingan yang lebih kecil.

Setelah aku dibawa keruang tahanan dan diminta berganti pakaian aku segera dibawa keluar dan langsung diberi palu besar untuk bekerja seperti tahanan lainnya, memecah batuan.

Bagu sekali. Semua berjalan mulus seperti dugaanku. Aku bekerja seperti tahanan lain sambil terus memerhatikan gerak-gerik anak laki-laki pemilik penginapan. Sesekali aku mengambil kesempatan untuk berpindah untuk mendekat.

Belum sampai berjarak satu meter dari anak laki-laki itu kulihat ke gerbang tampak dua teman baikku masuk, bukan sebagai tahanan tapi mereka menyamar sebagai juru masak penjara. Ide yang bagus mereka memang jenius. Kulihat mereka berdua yang berjalan masuk menggunakan seragam tukang masak tampak memberi  kode tipis bahwa semuanya sudah siap.

“Psst psst, Kau anak pemilik penginapan bukan?” tanyaku memastikan. Yah, sebenarnya kami pernah bertemu sekali hanya saja aku ingin memastikannya lagi.

“Ya,” jawabnya berbisik.

“ Aku datang untuk membantumu melarikan diri,” bisikku lagi.

“ Bagaimana caranya?”

“ Tunggu aba-abaku,”

Setelah itu kami berdua melanjutkan kerja dalam diam. Aku tinggal menunggu kode dari dapur penjara saja.

BUM!

Suara dentuman sebagai tanda saatnya beraksi datang dari dapur. Kulihat banyak orang lalu lalang hendak menyelamatkan diri sementara dapur tampak mengeluarkan asap hitam tebal. Kuyakin temanku berhasul meledakkan sesuatu.

“SEKARANG!”  seruku dan dontak aku mengankat kedua tanganku menunjuk bongkahan batu besar lantas mengendalikannya untuk bergerak memcah kerumunan.

Kedua temanku melakukan hal yang sama mengangkat bongkahan batu dan memblokade pergerakan para penjaga. Ya kami memiliki kemampuan telekinetic menggerakkan benda dari jauh.

Tugasku selanjutnya melemparkan bongkahan batu besar kearah dinding membentuk lubang pelarian.

“AAArrrrggh!” seruku lantas batu sebesar empat meter menghantam dinding pembatas bangunan membentuk lubang besar menganga.

Kesempatan itu kami gunakan untuk melarikan diri, bukan hanya itu kami juga membantu tahanan lain untuk kabur dan membuat para penjaga kalang kabut.

“Yes berhasil!” seruku sambil berlari menjauh bersama dua temanku dan anak laki-laki itu ke tempat persembunyian kami yang sudah disediakan oleh nyonya pemilik penginapan. Kami aman, aku yakin.

THE END

Selenophile [END]Where stories live. Discover now