9. AWRY

24 12 0
                                    

Pagi yang cerah dan orang-orang menyambut hari dengan tenang. Mengawali pagi dengan mengerjakan tugas rumah, mencuci atau memasak, bahkan hanya sekadar duduk diam diteras ditemani secangkir kopi panas dan surat kabar yang belum sempat dibaca. Sayang sekali keluargaku tidaklah seberuntung itu. Setiap pagi tetangga kami akan lebih sering mendengar suara ribut, piring pecah, hentakan kaki dilantai dan suara-suara nyaring saling menyalahkan satu sama lain.

"Ooh Florea dimana gaunku?!"

"Florea letakkan barang-barang itu ditempatnya semula!"

"Cepatlah kau tidak bisa selambat itu Florea!"

Dan semua orang mondar-mandir dengan tergesa-gesa. Barang-barang berjatuhan dari tempatnya, dan lantai yang tidak pernah bersih lebih dari satu menit.

"Dimana sarapanku?"

"Kau mengambil barang milikku!"

"Enak saja! Jangan asal tuduh kau perempuan sialan!"

Blablabla. Yaah seandainya keluargaku bisa hidup dengan tenang seperti orang lain.

Namaku Florea, sebut saja aku Flo. Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara yang isinya adalah anak perempuan, aku mengemban tugas yang cukup berat. Ibuku adalah seorang wanita yang senang jalan-jalan dan nyaris lupa memiliki rumah, sedangkan ayahku adalah seorang penyair terkenal yang lebih banyak menghabiskan waktunya di kota. Sementara aku, bertanggungjawab mengasuh kedua kakak bodohku dan mengurus rumah yang sejujurnya lebih mirip kapal pecah.

Setiap hari kedua kakakku akan sibuk mempercantik diri, berdandan, mencoba gaun ini dan itu, berteriak memanggil namaku meminta diambilkan ini, minta tolong dicarikan itu atau mereka akan bertengkar tidak jelas hanya karena aku harus memilih siapa yang harus kuurus lebih dulu. Jika mereka sudah selesai, selanjutnya aka nada keributan seperti

"Dimana rotiku?"

"Eww, kita akan sarapan ini lagi?"

"Florea, apakah kau tidak dengar semalam kalau aku sudah muak dengan makanan seperti ini?"

Dan berbagai macam celotehnya. Aku hanya bisa menghembuskan napas panjang, menahan kesal didalam hati dan berusaha secepat mungkin menyelesaikan pekerjaan rumah agar aku bisa segera keluar.

Setelah sarapan yang panjang dan berbagai aktivitas lainnya. Kedua kakakku akan bermalas-malasan dan berdebat siapa diantara merek yang lebih cantik hari itu. Well aku lebih merasa jika mereka sedang berdebat tentang siapa yang bodoh dan siapa yang lebih bodoh.

Menjelang siang, saat akhirnya keduanya jatuh tertidur aku akan menyelinap keluar menuju hutan.

"Sasila...Sasilaa dimana kau?" sapa kau ketika telah memasuki hutan.

Sasila adalah temanku, satu-satunya teman yang kupunya. Ia adalah seorang peri kecil dengan ukuran tak lebih besar dari ibu jari. Suatu hari, aku bertemu dengannya ketika aku tak sengaja tersesat dan berputar-putar di tengah hutan tanpa jalan keluar. Untungnya peri itu baik hati menunjukkanku jalan pulang.

"Sasilaa, dimana kau?" sapaku sekali lagi tanpa sahutan.

Aku berjalan terus menyusuri hutan berharap segera bertemu dengan peri itu. Tak berselang lama, kudengar suara samar peri sahabatku diikuti suara seorang laki-laki. Tunggu, laki-laki?

"Sasila?" aku memanggil namanya saat kulihat ia tampak tengah berbincang asik dengan seorang anak laki-laki yang jika dilihat dari penampilannya mungkin jarak usia kami terpaut satu tahun.

"Hei! Florea, lihatlah siapa yang aku temui,"

Seorang anak laki-laki mengenakan kemeja berwarna putih dengan celana pensil dan sepatu boot, dibahunya tersampir rapih sebuah jubah berwarna kecokelatan dan juga busur panah. Tak jauh dari mereka, tampak seekor kuda sedang asyik melahap rumput segar.

Selenophile [END]Where stories live. Discover now