30|| Don't Blame Yourself

Start from the beginning
                                    

Di dekat gerbang, Tara bersama dengan empat orang siswa lainnya berdiri resah menunggu orang datang sebagai wali mereka. Rapat orangtua dengan guru pengajar bahkan sudah dapat dipastikan telah dimulai. Namun, Bibi Tiwi belum terlihat juga keberadaannya.

Pikiran buruk memenuhi pikiran Tara. Kepala gadis itu tiba-tiba berdenyut-denyut dengan debaran jantung yang was-was menakutkan suatu yang buruk terjadi. Ia takut jika bibinya tidak benar-benar datang. Terancamlah ia tidak bisa mendapatkan laporan hasil belajarnya hari ini.

"Rapat sudah dimulai, kenapa kalian masih di sini?" Tegur satpam yang kembali untuk berjaga.

"Nunggu orangtua, Pak," jawab salah satu dari mereka sebagai perwakilan.

"'Kan sudah diberitahu jam berapa harus datang. Bisa juga ya orangtua telat. Pantas saja murid-murid juga kadang terlambat, orangtuanya saja molor begini. Sesibuk apapun, ini demi 'kan demi anaknya. Kalau tidak bisa datang dua-duanya, salah satunya tidak masalah. Di wakilkan saudara juga bisa dimaklumi. Masa tidak punya saudara. Sibuk ngapain sih orangtua kalian? Ke sawah? Atau menyupiri pesawat?"

Penilaian satpam tersebut terhadap situasi yang terjadi hanyalah berdasarkan sudut pandangnya. Tidak tahukah jika banyak jenis penyakit hubungan keluarga yang menyusahkan semua urusan menjadi mudah?

"Kami juga maunya dipermudah, Pak. Dan orangtua saya mungkin sedang berjuang membantu satu nyawa untuk selamat di meja operasinya," ucap salah satu siswi dengan sesumbar membersihkan nama baik orangtuanya.

Mereka bukanlah lagi anak kecil yang akan diam saja saat diceramahi soal bagaimana bersikap. Otaknya yang mulai membuat penalaran sering kali mendesak untuk menyuarakan pendapat sendiri.

Siswa lainnya mulai berlari melewati gerbang ketika satpam itu ingin membalas ucapan siswi tersebut. "Hei!!! Mau kemana kamu?!" Teriak satpam itu mencoba menghentikan pemuda yang semakin menjauh langkah kakinya.

"Nyari penjual pecel buat ngambilin raport!" Pemuda tadi balas berteriak tanpa menghentikan larinya.

Nyatanya Satpam itu tidak ada niatan lagi untuk mengejarnya, dia membiarkan pelajar itu terjun ke jalanan. Kembali satpam itu berbalik dengan geleng-geleng kepala tanda iba dengan kondisi saat ini. "Dasar anak muda zaman sekarang. Miris sekali tingkahnya," ujarnya seolah menunjukkan contoh buruk kepada pelajar lainnya.

"Dasar anak zaman dahulu, katanya pintar-pintar, prestasi segudang, paling jarang berbuat kejahatan, tapi sayang tidak bisa nyadar kalau mereka gagal jadi orangtua," sindir siswa lainnya sambil berlalu kembali menuju kelas asalnya. Satpam itu bungkam mengingat kembali banyaknya kasus kenakalan remaja yang disebabkan oleh kurangnya kasih sayang dalam keluarga.

Terbukti mereka juga memikirkan pendidikan mereka dengan berada di sana. Untuk apa mereka menunggu untuk kedatangan wali murid mereka jika mereka tidak menginginkan untuk mendapatkan yang terbaik dalam usaha mereka?

Mobil sedan berhenti tepat di depan gerbang. Tara hafal betul mobil siapa yang tiba. Perasaan was-wasnya berangsur-angsur membaik melihat Jauhari turun dengan segera membukakan pintu mobil bagian belakang. Keluar dari dalam sana Bibi Tiwi dengan penampilan rapi seperti biasanya.

Tara berlari menghampiri keduanya. "Kenapa baru tiba, Bi? Rapatnya sudah dimulai sejak tadi."

"Salahkan saja Mamamu yang kumat. Bibi 'kan jadi harus repot dulu mengurusnya," balas Tiwi mengelak untuk disalahkan.

Mengetahui kabar yang tergolong buruk tentang Mamanya, hati Tara mencelos. Ingin ia segera berada di sana.

"Kalau begitu, saya antar menuju kelas, Bi."

Lebih cepat menerima raport, akan lebih cepat pula ia bisa menuju rumah sakit, Pikir Tara.

• • • 

Tubby, I Love You! (Selesai)Where stories live. Discover now