30|| Don't Blame Yourself

79 26 22
                                    

•Happy reading!•
;)

'Tidak mampunya melakukan perpisahan, dikarenakan kentalnya kenangan, tipisnya keikhlasan untuk menerima kenyataan dan terlalu besarnya pengorbanan untuk tetap mendapatkan kebersamaan.'
~Tara Aponi Beatrice.

Sudah menjadi hari ke-lima untuk Estu menjalani perawatan yang lebih serius semenjak hari itu. Masa-masa ujian semester Tara juga sudah berlalu, begitu juga dengan kesempatan remedial dan ujian susulan yang telah ditutup. Tara menyelesaikan semua masalah ujiannya dengan sebaik mungkin. Beruntungnya dia tidak dimasukkan ke dalam daftar yang harus remedial, tugasnya sudah lengkap tidak perlu lagi berurusan dengan guru-guru untuk mendapatkan nilai tambahan. Itu mempertandakan hasil ujiannya yang masih dirahasiakan oleh guru dapat diharapkan untuk lebih dari nilai rata-rata.

Telah diumumkan bahwasanya besok adalah hari yang dinantikan untuk mendapatkan laporan hasil belajar. Penentuan dimana kedudukan kepintaran dapat diurutkan sesuai nilai yang dijumlahkan.

Sepucuk kertas yang terlipat rapi dalam jepretan staples berada dalam genggaman tangan Tara. Tungkainya berjalan memasuki kamar rawat Mamanya. "Aku pulang," ucapnya dengan lesu. Papanya yang sedang membersihkan wajah Mamanya dengan tisu basah menoleh kepadanya.

"Wellcome, Dear."

Tara tersenyum membalas sambutan sang Papa. Hanya Papanya yang menyambutnya dengan hangat. Mamanya terlelap tidak mengetahui kedatangan. Efek obat membuat tubuh Mamanya lebih banyak tidur. Di sofa ruangan itu juga ada Bibi Tiwi yang sibuk memainkan ponselnya. Tara menghela nafasnya meredam ketidaksukaan pada wanita itu.

Bukannya ia masih mendendam tentang kejadian waktu itu. Tara sudah memaafkannya meski kata maaf tidak pernah ia terima. Namun, untuk melupakan sakit hatinya kala itu Tara masih belum bisa.

Gadis itu berjalan mendekat pada Papanya. Melihat kondisi Mamanya, Tara menjadi sendu. Wajah Mamanya semakin pucat. Perubahan terlihat jelas mengenai fisik Mamanya. Tubuh besar wanita itu susut dengan drastis. Tangan terkulai Estu tidak melepaskan kalung salib dari genggamannya. Sembilu hati Tara membayangkan betapa sakitnya derita yang ditanggung Mamanya. Lusa adalah jadwal operasi Mamanya dilakukan.

Pembengkakan pembuluh darah yang terjadi harus segera diperbaiki. Jika lama dibiarkan, itu akan berakibat fatal jika terjadi kebocoran atau pendarahan. Sang kepala rumah tangga yang menginginkan yang terbaik dengan cepat menyetujuinya. Begitupun dengan Estu sudah pasrah saja dengan apa yang terjadi ke depannya, yang terpenting dia sudah berusaha. Demi keluarganya yang masih ingin ia habiskan kehidupan bersama mereka.

"Lelah, Nak?" Tanya Haidar memperhatikan kondisi raut wajah anaknya.

"Tidak terlalu, Pa," jawab Tara mencoba menampilkan senyum terbaiknya. Papanya pantas mendapatkan gelar pahlawan keluarga dan beliau pantas untuk mendapatkan penghargaan kasih sayang dari Tara. Tara tidak mau menyalahkan Papanya untuk masalah yang terjadi. Ia tahu ini sudah takdirnya. Dan pahlawan bukan berarti tidak pernah berbuat kesalahan.

"Papa sudah belikan makanan buat kamu. Jangan lupa makan, ya!" Terkadang posisinya sebagai kepala keluarga mengharuskan dirinya agar tetap tegar dalam kondisi apapun. Sayangnya, hatinya tidak setegar itu untuk tetap tertuju pada Estu. Biarlah ia gunakan sisa-sisa semangatnya untuk berjuang. Bukan sebagai kewajiban kepala keluarga, melainkan sebagai seorang yang teringin melindungi apa yang dicintainya.

Tubby, I Love You! (Selesai)Where stories live. Discover now