DUA PULUH TUJUH

13.2K 2.4K 265
                                    

Haloooo! Hari Selasa nih. Dari skala 1-10, ada di angka berapa tingkat kebahagiaanmu? Semoga Ava dan Manal bisa menaikkan sedikit kehagiaanmu ya. Ngomong-ngomong, ada yang lagi kangen nih, karena lama nggak ketemu. Aduh, Ava dan Manal, kalian bikin aku geregetan. Padalah aku yang bikin cerita.

Jangan lupa tinggalkan komentar untukku ya. Yang rajin komen-komennya, karena itu bikin aku bahagia. Kalau aku bahagia aku rajin nulisnya hahaha.

Di bagian paling akhir halaman ada pertanyaan seru yang perlu kamu jawab ya, misteri terkait Manal.

Love, Vihara(IG/TikTok/Karyakarsa ikavihara, WhatsApp 083155861228)

***

"Orangtuaku sedang dalam proses cerai," cetus Ava.

"Pardon?" Manal tidak tahu. Bagaimana dia akan tahu kalau Ava tidak pernah memberitahunya apa-apa? Tidak pernah mau cerita?

"Makanya aku pindah rumah. Linda ... maksudku Mama ... dia bukan ibu kandungku. Ibuku meninggal saat aku umur tujuh. Sudah lama sekali pernikahan ayahku dan Linda nggak berjalan baik. Aku bahkan melihat ayahku memukul Linda. Jadi kamu mengerti, kan, kenapa aku nggak percaya pada cinta dan laki-laki?" Bagaimana dia akan percaya kepada laki-laki lain di dunia ini, kalau ayahnya sendiri—laki-laki yang paling dekat dengannya, sangat diidolakannya, dipercayainya, pernah dicintainya, dan dia harapkan selalu menjadi pahlawannya—memperlakukan seorang wanita yang dua kali bertaruh nyawa melahirkan anaknya dengan amat buruk? Di mana cinta berada? Kenapa tidak menyadarkan ayah Ava? Kenapa tidak menyelamatkan Linda? "Karena aku nggak ingin disakiti, jadi aku...."

"Menutup diri," potong Manal. "Aku mengerti. Ayo pulang." Manal berdiri dan tanpa menunggu Ava, berjalan ke kasir.

Ava menyusul Manal yang berjalan cepat menuju pintu keluar. "Manal!"

"Apa yang mau kamu dengar dariku, Ava? Ingin dengar aku mengatakan aku berbeda dengan mereka? Ingin aku meyakinkanmu aku nggak akan menyakitimu?" Manal berhenti dan berdiri menghadap Ava. "Aku nggak akan mengatakan itu lagi. Karena apa pun yang kukatakan, kamu akan terus membujuk hatimu agar nggak percaya padaku. Jadi aku nggak mau buang-buang napas."

***

Untungnya malam ini Manal membawa motornya. Jadi Ava tidak perlu khawatir memikirkan apa yang harus diobrolkan dengan Manal sepanjang perjalanan pulang, seperti yang harus dilakukan jika mereka duduk berdampingan di dalam mobil. Seharusnya Ava tidak perlu bercerita apa-apa kepada Manal. Cukup Ava menekankan dengan jelas kepada Manal bahwa Ava hanya ingin berteman. Berteman? Ava mentertawakan dirinya sendiri. Kalau memang ingin berteman, seharusnya Ava menolak setiap kali Manal mengajaknya menghabiskan waktu bersama di luar jam kerja. Hati memang seringkali tidak bisa diajak kompromi.

Saat Ava turun dari motor, Linda sedang berdiri di teras rumah. Apa yang dilakukan ibunya di luar malam-malam begini? Hal terakhir yang diinginkan Ava adalah mengenalkan Manal kepada ibunya.

Dan Manal, sebagai laki-laki sejati yang punya nyali dan bisa dipercaya, tentu turun dan melepaskan segala atribut berkendaranya untuk memberi salam kepada Linda.

"Mama ngapain di sini? Ah, ini Manal, Ma." Ava mengenalkan mereka.

Linda tersenyum dan bersalaman dengan Manal.

"Aku ke kamar mandi dulu." Ava bergegas masuk ke rumah karena sudah tidak bisa menahan lebih lama lagi.

Manal duduk di kursi rotan bundar di teras karena Linda memintanya.

"Ava jarang mengajak teman ke rumah. Apalagi teman laki-laki," kata Linda. "Yang akrab dengannya hanya Tana. Dan ... belakangan mungkin kamu. Sudah lama Ava suka menyendiri dan hanya Tana juga yang sering datang ke sini. Mungkin Ava malu dengan keadaan rumah. Ayahnya bisa sewaktu-waktu pulang dan mempermalukan Ava.

Sepasang Sepatu Untuk AvaWhere stories live. Discover now