TUJUH BELAS

13.5K 2.6K 263
                                    

Selamat menunaikan ibadah puasa, buat kamu yang menjalankan yaaa.... Semoga hadirnya Ava dan Manal bisa membuatmu bertambah semangat menjalani hari walaupun sedang lapar dan haus :-)

Tinggalkan komentar untukku ya, aku senang membaca komentar darimu dan membalasanya :-)

Love, Vihara(IG//TikTok/FB/Karyakarsa ikavihara, WhatsApp 083155861228)

***

Benar-benar orang aneh.

"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri, Ava?" tanya Linda.

Ava menyentuh bibirnya. Senyum? Benarkan Ava tersenyum saat membaca pujian dari Manal? Belum pernah terjadi dalam hidup Ava, ada laki-laki yang memperhatikan kakinya. Kaki. Something that she felt less attractive. Sepanjang hidupnya, Ava lebih perhatian pada wajah ketimbang kakinya. Untuk wajah, Ava mau membayar orang lain—aesthetician, esthetician, anythinguntuk melakukan perawatan rutin. Ada jerawat satu saja Ava kalang kabut mencari obatnya. Sedangkan waxing dan pedicure lebih banyak dilakukan sendiri di rumah. Itu juga kalau Ava sedang tidak malas.

Karena terlalu sibuk memikirkan Manal, Ava tidak sadar kalau sekarang dirinya berada di studio ibunya. Menunggui Linda yang sedang menggambar. "Nggak apa-apa. Ini Tana kirim WA lucu. Apa tadi Mama jadi diwawancara?"

"Jadi. Lewat telepon saja. Dan Mama kirim foto kita untuk mereka."

"Kita? Aku masuk koran juga? Bareng Papa?" Ava tidak ingin seluruh Indonesia tahu dia anak dari ayahnya. Bagaimana kalau teman-teman Ava ada yang membaca?

"Mama hanya kasih foto kita berempat. Tinggal menunggu papamu ngamuk saat baca korannya." Dengan santai Linda kembali menggoreskan pensil di kertas sketsa.

Ayah Ava sangat menyukai perhatian. Sudah pasti ayah Ava akan marah karena tidak diikutsertakan dalam foto yang dimuat untk melengkapi wawancara dengan Linda.

"Oh ya, Ava, ... Mama akan berpisah dengan papamu. Siap-siap ya. Kita akan pindah dari rumah ini secepatnya."

"What?!" Ava tidak percaya pada apa yang didengarnya,

"Seharusnya Mama berpisah dengan Papa ... sejak dulu."

"Mama." Ava memeluk Linda. "Terima kasih Mama sudah mau mendengarkan kami. Aku senang banget. Arvin dan Addie akan lebih bahagia kalau nggak lagi tinggal di sini. Kita akan pindah ke mana? Tapi bukannya rumah ini atas nama Mama?"

"Mama belum diskusi dengan pengacara Mama soal harta, Sayang. Tapi papamu tetap punya tanggung jawab membiayai Arvin dan Addie. Sampai mereka mandiri. Kamu benar. Seharusnya sejak dulu Mama mengambil keputusan. Mama egois karena tidak memikirkan perasaan kalian. Mama masih berharap Papa kembali. Maafkan Mama ya."

Ava tahu Linda masih selalu berharap bahwa suaminya akan berubah dan kembali ke rumah. Kembali mencintai Linda seperti dulu lagi, saat masih pengantin baru. Dan Ava juga tahu bahwa Linda paham bahwa itu tidak akan mungkin terjadi. Betapa cinta bisa membuat orang menjadi bodoh dan tidak bisa mengambil keputusan dengan benar. Logika seperti tidak berdaya ketika sudah dihadapkan pada cinta. Sampai kapan pun Ava tidak akan membiarkan dirinya dikuasai cinta sehingga tidak bisa melihat faktor lain, ketika harus memilih untuk bertahan atau pergi, saat orang yang kita cintai menyakiti kita.

"Mama nggak pernah egois. Mama memang sayang sama kita, tapi Mama juga mencintai Papa. Itu ... manusiawi." Lebih baik terlambat membuat keputusan penting daripada selamanya mereka hidup dalam rumah yang dibayang-bayangi pertengkaran.

Linda mengelus kepala Ava sambil tertawa. "Sejak kapan anak Mama jadi bijak?"

Ponsel Ava bergetar lagi.

Sepasang Sepatu Untuk AvaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang