DUA

24.2K 3.1K 126
                                    

"Mbak...." Pintu kamar Ava perlahan terbuka, diikuti suara pelan dan langkah ragu adik laki-laki Ava.

Begitu pintu terbuka sepenuhnya, suara keras ayah mereka, yang mungkin bisa terdengar dari pos satpam di ujung jalan sana, semakin nyaring. Ava sampai berjengit mendengar suara benda jatuh. Kepala Ava semakin berdenyut. Telinga Ava berdenging. Mau sampai kapan mereka semua harus tinggal di dalam keluarga yang tidak sehat seperti ini?

"Hai, Vin."Ava berusaha tersenyum saat adiknya masuk kamar setelah menutup pintu.

"Aku bawain pesananmu." Arvin menyerahkan minuman favorit Ava, yang dibawa dari coffee shop tempat Arvin bekerja.

"Thank you. Di sana rame hari ini?" Ava mengambil dompet dan menyerahkan uang kepada adiknya. Setahu Ava, Arvin menyukai pekerjaan sambilannya.

Ava tersenyum menyesap minumannya. Tidak semua laki-laki membuatnya patah hati. Arvin, adik Ava, tidak akan pernah membuat Ava kecewa. Semoga Arvin tumbuh menjadi laki-laki baik dan terhormat, Ava berdoa dalam hati. Dan semoga, orang tidak menilai baik atau tidaknya Arvin berdasarkan moral ayah mereka—yang sudah minus—sebegaimana orang menilai Ava. Untuk urusan satu ini, Ava tidak bisa hanya berharap dalam hati, Ava akan memastikan itu terjadi. Supaya kelak ketika Arvin bertemu wanita pujaan hatinya, Arvin bisa menikah dengannya dan hidup bahagia selama-lamanya.

"Rame. Apa mereka ... sudah lama begitu?" Mereka yang dimaksud Arvin adalah ayah dan ibu yang sedang berteriak.

Tampaknya pertengkaran mereka sudah berhenti sekarang, karena terdengar suara daun pintu dibanting sangat keras hingga rumah berguncang, disusul suara mobil meraung meninggalkan halaman rumah. Good ridance. Biasanya ayah mereka akan pergi selama beberapa hari, sebelum kembali ke sini dan membuat masalah lagi. Sekarang tugas Ava adalah memperbaiki kondisi mental adik-adiknya pasca-kejadian-traumatik-rutin.

"Vin...." Ava menyentuh lengan adiknya, berniat membesarkan hati Arvin. Walaupun Arvin bersikap acuh tak acuh menanggapi pertengkaran orangtua mereka, tapi Ava tahu di dalam hatinya, Arvin tidak menyukai kondisi ini.

"Aku cuma perlu menahan dua tiga minggu saja, Mbak. Setelah itu aku nggak perlu lagi mendengarkan mereka." Arvin akan melanjutkan kuliah di provinsi lain. Pilihan itu seperti sengaja dibuat karena Arvin tidak betah di rumah dan berurusan dengan ayah mereka.

"Apa Mbak Ava bisa bujuk Mama supaya cerai saja sama Papa?"

"Mbak dan Harlan putus." Bukannya menjawab, tidak tahu kenapa, Ava justru memberi tahu adiknya, yang masih berusia tujuh belas tahun dan mengaku tidak pernah pacaran. Mungkin Ava ingin mengalihkan pembicaraan, supaya Arvin tidak terlalu tersiksa memikirkan kedua orangtua mereka. Atau karena Ava tidak mau melihat Arvin kecewa, karena hingga hari ini Ava tidak bisa meyakinkan ibu mereka supaya menyudahi pernikahan yang tidak berguna seperti ini.

"Apa dia menyakiti Mbak Ava?" Arvin menegakkan tubuhnya.

"Sedikit...."

"Mbak Ava ... nggak apa-apa?" Arvin kembali duduk di tempat tidur.

"Nggak tahu. Aku nggak tahu. Tapi nanti aku akan baik-baik saja. Kukira setelah semua kekacauan yang terjadi di rumah ini, aku bisa menikah dan ... bisa bahagia ... bersama Harlan." Dengan murung Ava menatap gelas plastik di tangannya. "Tapi ini mungkin yang terbaik untuk Mbak, jadi Mbak bisa lebih lama menemani Mama dan Addie. Setelah kamu berangkat nanti, Mbak nggak mau mereka sendirian di sini."

Mungkin benar apa yang dikatakan orang. Kebahagiaan datangnya dari diri sendiri. Kita tidak bisa berharap orang lain akan membahagiakan kita. Karena orang yang anggap sebagai sumber kebahagiaan, bisa sewaktu-waktu menghilang dari hidup kita. Meninggalkan kita.

Sepasang Sepatu Untuk AvaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang