43. Snack Hadirin Budiman

10.3K 2K 33
                                    

"Aku grogi, Ya."

"Mau saya temani naik panggungnya?" tanya Naya sembari mengulum senyum. Menggoda sang pria.

Perempuan itu sedang menata rambut Laksa. Memberi sedikit gel, agar tampilan suaminya terlihat lebih segar. 

"Aku grogi ujiannya. Grogi kalau nggak lulus. Untuk apa aku takut sama manusia? Di panggung 'kan tinggal pelantikan aja."

Naya semakin mendekat. Lantas, memeluk kepala Laksa, tepat di depan kandungan sang istri yang sedang menunggu masa-masa melahirkan. Jemari Naya tak bisa menepuk punggung si suami. Takut sisa gel yang masih melekat, justru akan mengotori baju koko Laksa.

Pelukan Naya seperti ini, yang selalu Laksa rindukan. Seperti ada dua orang penyemangat sedang mendekapnya bersama. Naya dan si bayi. Apalagi, jika muka Laksa terkena tonjok dari dalam perut. Senangnya, bukan main.

"Bapaakk!" 

Aim berlari masuk dengan baju koko motif, senada yang dipakai Laksa. Serba putih. Anak sulung Naya ini tampan sekali. Wajahnya semakin mirip Bapak Ndaru. Hanya saja, baju koko yang Aim pakai, sama persis seperti yang dikenakan Bapak Aim yang sekarang. Bapak Laksa.

Kedua lelaki itu, akan mengikuti ujian juz 29, sekaligus berwisuda bersama-sama di pesantren milik Ustadz Yudis. Bersama 30 santri satu tingkat lain, yang juga sama-sama menghafal juz 29.

"Aim sudah siap?" 

Naya kemudian duduk dan mencium puncak kepala Aim. Menyemprot sedikit wewangian Laksa ke baju Aim. Dua prianya harum sekali hari ini.

"Siap dong, Buk. Ibuk sama Bapak do'ain Aim ya? Biar Aim nggak lupa."

"Pasti. Aim do'akan Bapak juga ya?" mohon Naya. Laksa hanya tersenyum. Ada Aim, Laksa merasa lebih tenang.

"Iya, Buk."

"Kamera ada sama siapa, Im?" 

"Om Kris, Pak. Tapi Bude Rus katanya mau fotokan kita juga dari HP Bude. Bulek Risma juga mau rekam video Aim."

"Uma mana, Bang?" tanya Naya lembut.

"Ayo!" Aim berdiri. Bergelayut di kursi roda Laksa. "Uma udah nungguin di mobil, sama Om Kris! Bapak mau Aim dorong, atau jalan sendiri? Aim dorong ya, Pak?"

"Boleh."

------------

Laksa terkejut bukan main. Buruh-buruh di hari Jum'at, yang seharusnya mereka masih bekerja, justru telah berbaris rapi di depan istana Laksamana Latif. Beberapa malah sudah ada yang duduk manis di bagian belakang mobil pick up, yang biasa digunakan sebagai transportasi bahan bangunan.

"Apa-apaan ini? Kalian nggak kerja!"

Kebiasaan Laksa jika marah. Ia seenaknya mengubah tanda tanya menjadi tanda seru. Calon supporter yang sudah tertata apik di pick up pun, berhamburan turun. Berbaris rapi di belakang para buruh yang telah berdiri sebelumnya. Formasinya lengkap, lantaran proyek masjid di Ciamis telah rampung sempurna.

Seluruh kepala tertunduk. Sangat rendah, yang kalau-kalau diteruskan, akan tersungkur ke tanah.

Kris maju. Berbisik di belakang Laksa. Sok-sokan Kris sekarang. Ia makin berani, gara-gara tak jadi turun pangkat. Padahal Laksa belum tahu saja, jika Kris-lah yang membuat dan memimpin grup WhatsApp baru. Tanpa dirinya. Yang berbeda, grup itu kini hanya berisi banyak do'a kesembuhan dan dukungan teriring untuk Laksa. Apabila suatu saat kepergok lagi, mereka aman dari hukuman penggal nominal gaji.

"Bu Sukma yang memberi mereka libur, Tuan."

Laksa mendengus berat. Cuping hidungnya kembang kempis. Usapan lembut Naya di bahu, bahkan mengagetkan Laksa. Naya memberi kode Kris agar membawa anak-anak masuk lebih dulu ke mobil.

Pungguk Memeluk Bulan (FULL)Where stories live. Discover now