15. Gulai Kepala Ikan

12.8K 2.4K 73
                                    

Dalam kurun waktu 5 hari sejak momen istimewa malam itu, kedekatan Laksa dengan anak-anak Naya bisa dikatakan mengalami peningkatan pesat.

Tiap hari Laksa meminta mereka menemani ke proyek. Tiap jam pulang sekolah pula, mobil hitam ber-sunroof kesukaan Uma sudah terparkir di depan gerbang SD IT Gunung Jati. Kris mendapat titah dari sang majikan untuk menjemput Aim dan Uma.

Laksa tak lagi marah-marah di proyek. Malu, batinnya. Anak kecil saja bisa sabar, bagaimana ini dengan calon Bapak mereka? Sungguh totalitas sekali Laksa bertobat. Atau, hanya sedang cari muka di depan dua anak Naya? Entahlah. Hanya Allah dan Laksa yang tahu.

Telah menjadi kebiasaan, istirahat buruh terjadi dalam dua sesi. Sesi Dzuhur dan sesi Ashar. Setelah Ashar, biasanya mereka akan melanjutkan hingga sekitar pukul 5 sore. Barulah pulang ke rumah masing-masing atau langsung kembali ke kediaman Laksa untuk buka puasa bersama.

Pemandangan berbeda terjadi hari ini. Untuk pertama kalinya sejak Laksa mendeklarasikan diri berpuasa, ia mengikuti jama'ah sholat Ashar. Menjadi makmum sholat di masjid perumahan, yang telah rampung paling pertama bersamaan dengan terjualnya semua unit di blok A.

Buruh tak ada yang bergosip. Takut kalau-kalau telinga Laksa yang sebesar telinga gajah, mendengar. Bisa jadi, mungkin grup WhatsApp mereka akan ramai nanti malam. Kita tunggu saja notifikasi pesannya.

Menikmati semilir angin di teras masjid usai menunaikan sholat, Aim mulai mengantuk. Sekali usapan lembut Naya, pasti anak ini akan tertidur. Hanya saja, di sampingnya kini hanya ada Laksa. Mengusap-usap kepala Aim penuh rasa. Tangan Laksa tak sehalus Naya, namun sama kokohnya dengan Bapak Ndaru. Ia tak ada keinginan sama sekali untuk melepas tangan itu dari kepala, meski Aim masih terjaga. Ia hanya rindu. Setidaknya, usapan ini sanggup menghapus sejumput dari tumpukan rindu Aim pada Bapak ... yang kian menggunung.

Berbeda dengan Aim, Uma makin akrab dengan Kris. Bisa jadi karena Kris lah yang memegang kunci kendali mobil kesukaan Uma. Kemanapun Kris pergi, Uma akan mengikuti selama tak ada yang melarang bocah itu.

"Kalau udah selesai Ashar, biasanya saya dan Bapak duduk-duduk begini juga di teras masjid. Bapak duduk, saya main sepeda. Kalau sudah capek, saya tiduran begini di samping Bapak."

Laksa terdiam. Ia tahu anak ini rindu Bapak Ndaru. Andai Laksa seberani malam itu pada Naya, ia pasti sudah menawarkan diri pada Aim, untuk menjadi pengganti Bapaknya. Tapi menghadapi penolakan Aim dan Uma lebih mengerikan. Ujung tombak penerimaan Laksa adalah di Aim dan Uma. Sekali ditolak dua hati anak polos super jujur ini, pasti Laksa tak akan bisa mendekat lagi.

"Ustad Ndaru seperti apa? Boleh saya tahu?"

"Bapak baik. Nggak pernah marah. Sayang sama kami. Kecuali, kalau kami nggak mau sholat. Bapak mau kami jadi anak sholeh. Makanya Bapak sama Ibuk sekolahin kami di sekolah IT."

"Bapak kamu lulusan pesantren?"

Aim mengangguk. Pasang mata bening keturunan Naya, memandang langit-langit masjid yang dicat putih. "Bapak hafal 20 juz, Tuan. Makanya Aim juga harus hafal Alquran."

Hati Laksa tersentak. Sungguh, saingan Laksa amat berat. Sudah berat, beliaunya juga sudah tidak ada lagi. Pasti sangat dirindu oleh sang kekasih hati.

"Aim sudah hafal berapa?"

Berapa juz?
Berapa surat?
Berapa ayat?

Pertanyaan Laksa menggantung. Takut kalau-kalau ia makin diserang panik, lantaran akan mendaftar sebagai imam seorang wanita beranak sholeh-sholehah.

"Aim? Aim sudah 1 juz. Masih jalan ke 2 juz."

Runtuhlah keegoisan Laksa seketika, si pemilik angka kekayaan terbesar se-kecamatan Pring Sewu. Pengusaha properti ini mendadak miskin modal. Tak ada yang bisa ia banggakan di depan Naya.

Pungguk Memeluk Bulan (FULL)Where stories live. Discover now