28. Spaghetti Rustinese VS Nayanese

10.7K 2.3K 86
                                    

"Mual, Bu. Cukup!" 

Tangan Laksa melambai meminta kantong kresek lagi. Ia memuntahkan apa yang baru saja ia makan ke kantong tersebut, lagi dan lagi. Untuk kesekian kalinya.

Bu Sukma membantu memijat tengkuk Laksa dengan tujuan semoga bisa mengurangi mual yang sedang melanda. Hingga Laksa berhenti muntah, Bu Sukma menepuk punggung Laksa keras. Amat ... sangat ... keras.

"Aww! Kenapa dipukul? Laksa ini sakitt, Ibuku!"

Bu Sukma terbahak di tengah raut marah.

"Kamu ini polos atau bodoh sih, Sa? Jelas-jelas Ibu lihat Naya itu suka sama kamu. Malah seenaknya sok dilepaskan. Dia itu penurut. Kalau Maknya suruh dia nikah sama yang orang pesantren itu ... siapa itu namanya? Habi .. Habibi? Sibi?"

"Hasbi."

"Nah itu! Hasbi. Ya pasti Naya nurut lah, Sa, dinikahkan sama dia! Astaga!! Ibu pusing mikir kamu, Sa!"

"Laksa kan nggak bisa memaksa hati orang, Bu. Laksa nggak mau kejadian dulu terjadi lagi. Ibu nggak mau kan punya mantu stres karena terpaksa menikah? Juga nggak mau 'kan Laksa minum-minuman Wein kayak kemarin lagi?"

Lagi, Bu Sukma menepuk Laksa. Lantas memijat tengkuknya keras. Lebih bisa Laksa sebut mencubit kuat-kuat, dibandingkan memijat keras.

"Ya dia nggak mungkin stres. Orang dianya sayang sama kamu kok!"

"Dah! Laksa mau tidur dulu! Laksa juga pusing, Bu. Jangan bikin Laksa tambah pusing!"

Laksa kembali rebah setelah meminum air putih hangat di atas nakas. Menutup selimut tebalnya hingga ujung kepala. Laksa tak mau makin mual karena perut bergejolaknya ketambahan omelan sang ibu.

"Yaudahlah. Kita sama-sama pusing lah! Do'a Ibu semoga kamu panjang umur ya, Sa? Semoga kamu nggak cepet mati, ditinggal Naya nikah nanti. Baru dua hari patah hati aja sudah masuk rumah sakit. Gimana kalau seumur hidup? Duuuh, Laksa ... Laksa ... !"

--------------

"Mbak Naya? Alhamdulillah ... akhirnya ... ketemu juga. Saya pengen nangis, Mbaak!"

Mata Kris menggenang. Ia menghela nafas panjang bagai usai melakukan lari estafet jarak jauh. Padahal, ia hanya mondar-mandir rumah juga rumah sakit menggunakan mobil. Mobilnya bukan pick up, tapi keluaran Inggris. Ber-AC pula. Termasuk ada sunroof-nya. Hai, Kris! Nikmat mana yang sedang kau dustakan?

"Mbak Naya ... darimana aja? Saya udah ... dari pagi ... tungguin Mbak!" jawab Kris masih terengah-engah.

Ini Kris darimana sih? Ini sih bukan dari lari estafet. Pikir Naya sepertinya Kris memang sedang menderita asma akut.

"Memang mau kemana? Kamu sakit, Kris?"

"Boleh minum nggak?" tanya Kris melihat teko di atas kitchen bar.

"Hush! Poso 'kan kamu, Kris?" tepuk Rustini di tangan Kris yang hampir meraih gelas.

"Saya mau pingsan, Mbak Rus!" 

"Yo wis! Tiduran aja dulu sana! Spaghettinya bentar lagi mateng!"

Kris menggeleng. Ia lebih baik menunggu di dapur. Waktu adalah nyawa! Kris bisa-bisa dipenggal jika tak datang sesegera mungkin. Seharian, sedari pagi, ia berkeliling kabupaten Gunung Jati. Mencari minimal 10 tukang bubur ayam. Termasuk warung spaghetti, fastfood, warung tegal, soto ayam, nasi urap, atau warung apa sajalah yang Kris bisa bawa pulang ke rumah sakit, makanan hangatnya, saat itu juga.

Laksa mengeluh lapar. Namun tak satupun bisa masuk ke mulut kurang syukurnya itu. Boleh tidak kalau Kris bilangnya mulut laknat? Hanya satu-dua kali kunyah, lantas ia melambaikan tangan mencari bantuan. Kresek untuk muntahan. Bu Sukma pening, tapi tak mau pening sendirian. Ia mengajak Kris untuk ikut merasakan kepeningannya. Akhirnya, turunlah titah membawa semua jenis makanan yang kemungkinan besar bisa masuk ke mulut Laksa.

Pungguk Memeluk Bulan (FULL)Where stories live. Discover now