34. Nasi Goreng Udang

11.6K 2.2K 54
                                    

Mengendarai mobil SUV mewah milik Laksa selama 8 jam adalah pengalaman pertama Naya dan Uma. Uma tampak ceria di jam pertama dan kedua. Lantas tumbang ke alam mimpi di jam-jam selanjutnya. Aim menanggapinya biasa saja. Sedangkan Naya, jangan tanyakan lebih lanjut. Ia malu sekali pada Laksa dan Kris. Penyakit mabuk perjalanan Naya kumat. Konon kata Rustini, mabuk perjalanan adalah penyakit orang katrok. Kelihatan sekali jika Naya tak pernah naik mobil bagus berlama-lama. Kris berhenti di rest area sebanyak 4 kali. Padahal, masih ada sekitar 3 jam perjalanan lagi.

"Beli teh manis lagi? Yang di termos sepertinya sudah habis," tanya Laksa mengurut tengkuk Naya pelan.

Naya menggeleng. Perempuan itu hanya merebahkan kepala di meja yang tersedia di rest area. 

"Boleh nggak saya lanjut naik bus saja, Mas? Naya nggak biasa," tanya Naya masih menyembunyikan kepala di lipatan kedua tangan.

"Nggak boleh. Nanti lama-lama terbiasa. Mau berapa kali berhenti, aku temani."

Naya menurut. Ia tak punya tenaga lagi untuk melawan. Laksa menghilang dan kembali membawa minuman hangat juga obat Tolak Mabok. Ia membangunkan Naya yang sepertinya tertidur dengan kepala masih setia di atas meja. Tidur di rest area, Naya rasa lebih nyaman dibandingkan mobil mahal Laksa yang dingin. Naya bangun. Laksa meminumkan obat pada sang istri, penuh lembut. Laksa hanya merasa tak tega, kasihan, atau apapun yang mewakili perasaannya. Pun tak bisa berbuat apa-apa. Mengizinkan Naya naik kendaraan umum juga tak bisa menenangkan hatinya dari rasa khawatir.

"Jalan lagi? Kamu duduk depan. Biar Kris yang jaga anak-anak di belakang."

"Mas?"

"Aku yang setirin."

Naya setuju. Mungkin dengan mengubah posisi duduk dan suasana, bisa sedikit menipu otaknya untuk tak berkunang lagi. Menumpang mobil Laksa, pikiran Naya terus membayangkan jika ia sedang menaiki wahana rollercoaster. Padahal, sama sekali Naya belum pernah menaikinya. Hanya melihat dari TV Bu Sukma saja dia sudah pusing. Mungkin juga, dengan berganti pengemudi dan cara menyetir, Naya bisa lebih nyaman. 

3 jam ke depan, akan menjadi waktu melelahkan bagi Naya.

--------------

"Mbak Rus? Apakabar?"

Naya keluar dari kamar mandi dapur, usai mencuci muka dan sikat gigi. Pertama kali tempat yang Naya tuju setelah menyalami Bu Sukma, adalah kamar mandi itu. Ia tak tahan dengan aroma bekas muntahan sendiri. 

Akhirnya, mereka berhasil tiba di Gunung Jati pada pukul 7 malam tanpa drama lebih panjang, sejak Naya terakhir muntah di rest area Semarang. Jauh lebih lama dari prediksi, yang akan tiba di pukul 4 sore.

"Kamu pucet banget, Nay?" Rustini sontak menutup mulut licinnya. "Eh, Ny-nyonya?"

Naya terkekeh sembari menuang teh hangat ke gelas. 

"Panggil Naya saja, Mbak. Nggak perlu ditambah Nyonya."

Rustini mendekati Naya. Berkata lirih takut sang tuan mendengar dan menambah hukuman pada Rustini. Hukuman karena telah menjadi admin grup WhatsApp tak berfaedah itu saja, belum sempat ia jalani. Bagaimana bisa dijalankan? Laksa bahkan belum menentukan hukuman apa yang tepat untuk mereka. Para terdakwa sepakat untuk tak menyinggungnya sama sekali hingga Laksa lupa dengan sendirinya. Biasanya, hati yang bahagia membuat orang lupa akan kenangan tak penting.

"Nggak apa-apa ya? Kalo Tuan Laksa dengar gimana?"

Naya mengedikkan bahu. Ia juga tak tahu apa reaksi Laksa jika mendengar. Tapi Naya juga tak ingin terlihat sombong dengan dipanggil 'Nyonya.'

"Nanti saya tanyakan ya, Mbak? Gimana saya seharusnya dipanggil. Takutnya saya juga salah. Tapi sementara, tetap Naya saja," senyum Naya teduh.

"Itu kresek putih oleh-oleh ya, Nay?" 

Rustini tak sabar mengintip isi kresek asing yang tergeletak di meja dapur tadi. Sebuah kebahagiaan tersendiri, menerima oleh-oleh dari seseorang. Rustini yang sebatang kara, menjadi merasa masih punya keluarga yang memikirkan keberadaannya saat pergi keluar.

"Iya, Mbak. Mbak Rus pilih saja, suka sale pisang atau dendengnya? Ambil saja satu bungkus. Yang lain, besok bantu saya bagi-bagi ke pekerja sama tetangga ya?"

Rustini sontak memeluk erat Naya dari samping.

"Aku nggak nyesel. Pokoknya seneng banget kamu jadi istri Tuan, Nay."

Rustini memang kehilangan seorang teman bekerja. Namun kini, Rustini ketambahan satu majikan baik yang akan tinggal di rumah besar ini, beserta dua anak lucunya.

----------------

Setelah dari dapur, mendadak Naya hilang arah. Kemana ia harus masuk ruangan untuk beristirahat. Biasanya, ia hanya mampir mess belakang lalu pulang. Aim dan Uma pun sudah tak kelihatan batang hidungnya. Bu Sukma tak terlihat juga di depan TV. Mau naik ke lantai dua yang seumur-umur tak pernah ia injakkan kaki di sana, rasanya juga canggung. 

Sampai di ruang keluarga, Naya berbalik. Memutuskan kembali ke dapur. Membuka lemari es. Mencari sisa sayur yang bisa ia masak untuk makan malam. Sembari menunggu Laksa turun menjemputnya. Naya bukan sedang manja ingin dijemput. Hanya saja, mendadak norma kesopanan di rumah majikan, bergumul memenuhi kepalanya. Ia tak boleh kurang ajar.

Laksa yang sejak tadi telah masuk kamar, membersihkan diri, hampir saja tenggelam ke alam mimpi. Menunggu sang istri yang tak kunjung mengetuk pintu. Ia sama kelelahannya. Lelah perjalanan dan mondar-mandir tak jelas di lantai kamar menunggu tak pasti. Mendadak pikirannya melayang. Laksa panik. Membayangkan jangan-jangan Naya pingsan di bawah dan tak ada yang memergoki.

Berlari cepat, ia menuju ke bawah.

Helaan nafas panjang terdengar ketika penglihatannya menangkap aktivitas di dapur. Punggung yang beberapa hari ini ia hafal, tampak di sana. Naya sedang mengolah sesuatu di depan kompor.

"Masak apa?"

Naya berjenggit kaget sebelum menoleh, mendengar suara bariton mengusik telinganya.

"Sudah nggak pusing memangnya?"

Naya menggeleng.

"Adanya udang. Nasi goreng udang mau?"

Laksa mendekat. Mencium aroma wangi masakan Naya, yang menggoda perutnya.

"Apapun itu, akan aku makan kalau kamu yang memasak."

Laksa ini pujangga atau perayu ulung sih? Entah mengapa setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu manis dan berhasil menyembulkan rona kemerahan di pipi Naya. 

"Kenapa nggak ke atas? Ke kamar. Bersih-bersih badan dulu?"

Naya menoleh sebentar menelisik kemana arah tatapan Laksa. Ke nasi goreng atau ke Naya? Ternyata, ia masih menyorot tajam sang istri. Cepat-cepat Naya memotong pandangan. Takut ia sama merahnya dengan udang yang ada di penggorengan. Kembali fokus pada apa yang ia kerjakan di depan.

"Kenapa? Kok diam?"

Naya menghela nafas berat. 

"Saya hanya bingung, saya ... saya harus masuk kamar yang mana. S-saya ... mendadak seperti sedang terlempar dari mimpi lalu kembali ke dunia nyata ... "

Laksa mengernyitkan kening. Ini maksudnya bagaimana? Naya masih belum percaya jika Laksa telah mengucap janji di hadapan Allah menjadikannya seorang istri?

Naya mematikan kompor. Ia berusaha setegar mungkin berbalik. Berhadapan dengan pria yang kini berdiri menjulang di depannya. Sedikit mendongak, Naya berkata, "Bisa nggak Mas sadarkan saya? Yang kemarin itu ... nyata, atau mimpi?"

------------------

See you tomorrow 🥰🥰🥰
Nih requestnya yang minta uwu-uwu.
Aku mentok uwu2nya kayak gini2 aja ya Gaes. Hahaha ... jangan gregetan.🤪🤪🤪

Boleh nggak bagi pengalaman nya kenapa sih suka sama cerita ini?

Pungguk Memeluk Bulan (FULL)Where stories live. Discover now