Chapter 14

4.2K 428 29
                                    

6 Juni 2021

•••

Sepanjang perjalanan menuju rumah, Jenna menghubungi tim Xander yang tidak becus menjaga prianya itu, hanya omelan dan omelan yang hadir di mulutnya sementara di seberang sana mereka tampak ciut dan takut sadar idol mereka dalam bahaya. Sangat dalam bahaya. Meski syukurlah Xander diselamatkan.

"Pokoknya aku gak mau tahu, blacklist Ginny! Mengerti?!" teriak Jenna, sebenarnya selain blacklist, Jenna juga ingin mengacak-acak cewek itu, tetapi dirinya sadar harus menahan diri.

"Ba-baik, Jen. Ba-baik," kata pria di seberang sana. "Gimana keadaan Xander sekarang? Kalian udah sampai di rumah?"

"Dia masih tiduran, sebentar lagi kami pulang." Dan kemudian Jenna sejenak terdiam, ada keraguan yang hadir untuk memberitahukan sang penyelamat mereka berdua.

Namun akhirnya ... pikiran logisnya menang, sekali lagi Jenna harus bilang pada diri sendiri, tak boleh semudah itu mempercayai orang yang bahkan tak mempercayakan identitasnya pada Jenna. Demi kemungkinan buruk tak terjadi, jelas ia harus melakukannya.

"Aku ... gak sendirian pas nolong Xander tadi," kata Jenna akhirnya, dan menceritakan soal orang yang sama yang memberikan clue kalau ia tahu hubungan Jenna waktu di parkiran adalah sosok yang menolong mereka. "Tolong tangani aja dari jauh, dia udah janji gak bakal ember, tolong jangan apa-apakan dia." Dan sisi manusiawi Jenna muncul saat itu.

"Ah, kami akan mencari tahu soal dia, dan mengawasi," kata manajer Xander di seberang sana. "Kalian tenang saja, tak akan ada tindakan kecuali ada gerakan dia ingin membongkar rahasia kalian. Oh ya apa ada yang tahu lagi soal kalian berdua?"

Jenna menghela napas panjang. "Aku rasa hanya dia."

"Baiklah, Jenna, tolong jaga Xander di sana, kami akan ngurus di sini." Jenna menghela napas panjang.

"Itu sudah pasti."

"Sekali lagi kami minta maaf."

"Sudahlah ...." Jenna mendengkus pelan. "Kami sudah sampai, tolong lakukan tugas kamu lebih teliti."

"Baik, Jenna."

Panggilan terputus bertepatan mobil Jenna memasuki area rumah mereka. Seorang penjaga gerbang sigap membantu Jenna membawa Xander masuk rumah, menuju kamar, membaringkan pria itu di sana.

"Ada yang bisa saya bantu lagi, Nyonya?" tanya penjaga gerbang itu.

Jenna menggeleng. "Sudah, kami gak papa." Ia pun beranjak pergi meninggalkan keduanya.

Jenna memandangi Xander yang kelihatan sangat lelah kini tertidur dengan pulasnya, Xander tampak sudah sangat lemas tak bisa menahan reaksi tubuhnya sendiri, dan kini hanya bisa tidur dengan lelap. Pria malang. Jenna duduk di tepian kasur, mengusap puncak kepala suaminya.

Panas.

Xander memang sangat pucat dan berkeringat dingin, siapa sangka pria itu demam juga. Jenna menggeram kesal, andai saja ia bisa menghajar Ginny yang membuat suaminya begini, emosinya naik hingga napasnya ngos-ngosan. Meski kemudian, Jenna berusaha menetralkan amarahnya, pun sigap membuatkan kompres untuk Xander.

Ia meletakkan kain berair hangat itu di kening sang pria, menyeka sisa-sisa keringat yang ada, bahkan sekalian mengganti pakaiannya juga dengan pakaian yang jauh lebih santai. Kemudian, ia tarik selimut hingga sedada Xander.

"Jenna ...." Siapa sangka, Xander terbangun, dan kini bergumam meski tanpa membuka mata. "Mau mimi ...."

"Iya, Sayang. Bentar, ya." Jenna sigap membuatkan minuman berupa susu cokelat berdot untuk suaminya, menuju kamar lagi, dan memberikan susu tersebut pada Xander, menghisapkannya ke si pria.

Xander tampak mengedot dengan lemah, Jenna mengusap rambutnya, semakin iba.

Jenna siap naik ke kasur menemani suaminya, tetapi terdiam karena ia sadari pakaiannya begitu gerah dan pasti akan membuat Xander tak nyaman juga. Segera, ia mengganti pakaian menjadi lebih nyaman, sebelum akhirnya berbaring di samping suaminya, memeluknya lembut seraya mengusap puncak kepala Xander.

Berpelukan begini, Jenna bisa mendengar detak jantung Xander yang teratur disertai suaranya mengedot juga suara napasnya. Sesekali Jenna menciumi badan pria itu.

"Maaf aku gak bisa jaga kamu, Xander ...." Jenna memeluknya semakin erat. "Maaf aku gak bisa jagain kamu." Jenna terisak pelan.

Perlahan, mata Xander yang asyik menutup akhirnya terbuka, tatapannya fokus pada sosok yang memeluknya erat dan terdengar isakan tangis pelan di sana, tangan Xander bergerak pelan untuk melepaskan dot dari mulutnya.

"Jenna ...," panggilnya dengan suara serak.

Jenna tak menjawab, asyik menangis.

"Jenna ...." Sekali lagi Xander memanggil, Jenna tersadar Xander kini bangun, pun segera ia seka air matanya kemudian mendongak menatap suaminya. "Jenna," katanya pelan.

"Xander, kamu bangun? Kamu gak papa, kan? Susunya gak enak, ya?" Jenna melemparkan pertanyaan bertubi.

Xander menggeleng pelan. "Kamu selalu jagain aku, kok. Kamu enggak pernah gagal ...." Xander tersenyum tipis ke arah istrinya, terlalu lemas.

"Tapi ... ini semua ...." Kerongkongan Jenna terasa sakit ingin melanjutkan, rasanya dadanya bergemuruh penuh kesedihan hingga ungkapannya tersendat.

"Kamu jagain aku, kalau enggak aku udah jadi mangsa jin botol itu." Xander terkikik lemah. "Jangan nangis, entar aku ikutan nangis," pintanya cemberut. "Kamu selalu jagain aku, Jenna."

Jenna tersenyum, terharu akan ungkapan Xander, ia peluk lagi pria itu dengan hangat.

"Pokoknya aku bakalan bales perbuatan Ginny ke kamu, aku gak bakalan biarin dia tenang setelah bikin kamu begini! Mau merkosa kamu, bahkan bikin kamu demam!" Jenna menatap Xander mantap, ia menggeleng tak terima. "Awas aja tu cewek!"

Xander tertawa melihat semangat menggebu istrinya. "Dia udah diurus kan?"

"Udah sama tim kamu, tim kamu yang gak becus!" Jenna mengomel lagi, omelannya panjang kali lebar kali tinggi membuat Xander pusing sendiri meski tertawa.

"Udah, udah, yang penting aku udah aman di sini sama kamu. Aku merasa aman sama kamu ...." Xander memeluk Jenna balik. "Aku merasa aman sama kamu."

"Hm ...." Jenna bergumam, ia pun demikian, merasa aman bersama Xander.

Kehangatan ini menyenangkan.

"Aku gak nyangka ada fans segila Ginny di dunia ini," kata Jenna, bayangkan mau dihamili idolanya demi mendapatkannya, nekatnya sangat tinggi.

"Well, banyak sebenarnya, beberapa terlalu mencintai hingga akhirnya terkesan obsesi." Xander menghela napas. "Banyak lho kasus, idolanya dibunuh dia, properti idolanya dipakai, privasi seakan publik. Itulah yang terjadi pas kita jadi publik figur, belum lagi mulut pedas netizen."

Selama bersama Xander, Jenna agaknya tahu persis suka duka menjadi orang terkenal. Lebih sulit dan rumit kebanding yang terlihat dari layar kaca.

Banyak orang kadang lupa jika idola yang mereka cintai juga manusia, memerlukan personal space, privasi, dan punya hak yang sama selayaknya manusia pada umumnya. Salah satunya menerima keputusan sang idola dalam menentukan pasangan hidupnya sendiri.

Pasti pro kontra banyak yang tak rela.

"Jen." Jenna menatap Xander, menunggu maksud Xander memanggilnya. "Kurasa reaksi obatnya masih kentara, aku gak tahan, Jen. Aku gak tahan."

Lebih baik begini, ia bersama suaminya, hubungan suami istri mereka sah, dan lebih menggairahkan karena Jenna tahu persis bagaimana Xander dalam adegan ini.

Kalau bersama Ginny, Jenna tak yakin Xander akan terpuaskan, karena Ginny sama sekali tak tahu tentang kepribadian idolanya dan apa yang dia senang saat melakukan hubungan ini.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

MY HUSBAND IS A ROCKSTAR [B.U. Series - X]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang