•11. Khawatir ☃•

33 3 0
                                    

"Kejujuran yang ku inginkan, namun kebohongan yang ku dapatkan."

※※※※※

Teriakan melengking dari Umi Aisyah tidak membuat Sheren terganggu, justru Hamzah yang menutup telinganya rapat-rapat. Menatap Sheren yang terbaring lemah di atas ranjang membuat hatinya sedikit sesak. Ingin sekali ia menggantikan posisi Sheren, tapi takdir sudah berkata.

"Ayo bangun."

Suara itu mengagetkan Sheren yang tadinya hanya memejamkan matanya guna menghilangkan rasa pusingnya. Ia duduk di atas ranjangnya, kemudian tersenyum menatap Umi Aisyah.

"Ya ampun, ini kenapa bisa banyak banget darahnya?" tanya Umi Aisyah khawatir.

"Mending kamu ganti baju dulu. Ini bajunya udah Umi bawa. Umi sama Hamzah keluar dulu, kamu ganti baju," lanjut Umi Aisyah sembari memberikan paper bag yang berisi pakaian pas untuk Sheren.

Umi Aisyah menyeret tangan Hamzah untuk keluar. Sambil menunggu Sheren berganti baju, Hamzah memutar bola matanya dengan bingung, dia menatap Uminya yang sepertinya tengah berpikir, sesekali keningnya mengerut.

"Umi kenapa?" Umi Aisyah menatap Hamzah.

"Kamu tuh nggak peka, ya? Ya, jelas Umi khawatirlah sama Sheren. Nanti kalau Shaka dengar keadaan Sheren gimana?" omel Umi Aisyah menatap putranya jengah, ia berjalan mondar-mandir dengan bibir terus berdoa supaya Sheren baik-baik saja.

"Umi, sebaiknya doakan Sheren, semoga baik-baik saja."

"Huh, Sheren itu anaknya tertutup. Mana mungkin dia cerita tentang keadannya?" Umi Aisyah benar-benar khawatir dengan keadaan Sheren, ia sudah menganggap Sheren sebagai putrinya sendiri setelah Athira.

Hamzah mengangguk 'tak yakin, seketika bayangan Zalfa lewat dipikirannya. Ia menatap Umi nya ragu, takut jika Umi nya menolak keinginannya. "Mi, boleh nggak, Hamzah nolak petunangan Abbah? Hamzah ngerasa gimana gitu sama Zalfa."

Umi Aisyah mengelus pundak Hamzah dengan senyuman lebarnya. Ia mengerti perasaan Hamzah, pasti sangat ragu. "Sudah shalat istikharah?"

Hamzah mengangguk. "Tapi Hamzah masih ragu sama Zalfa, Umi," lirihnya menundukkan kepalanya.

"Ngomong sama Abi kamu, ya. InsyaAllah Abi akan mengambil keputusan yang terbaik untuk kamu," ucap Umi Aisyah dengan lembut, Hamzah mengangguk.

"Ternyata Ustadz Hamzah masih ragu sama titisan Dajjal," gumam Sheren tiba-tiba di samping Umi Aisyah, ia 'tak sengaja mendengar perkataan terakhir Hamzah dan Umi Aisyah, ia beristighfar dalam hati.

"Apa aku ngomong sama Abi soal perasaan Hamzah sebenarnya, Umi?" tanya Hamzah 'tak menyadari keberadaan Sheren. Kening Sheren mengerut jelas, perasaan apa yang dimaksud oleh Hamzah, ia tidak mengerti.

"Emang kamu kenapa?"

"Aku-"

"Eh, udah selesai, Nak?" Umi Aisyah menyadari keberadaan Sheren di sampingnya, ia tersenyum manis. Diam-diam, Hamzah menghela napasnya pelan.

Sheren meringis pelan, ia mengusap tengkuknya yang tertutup hijab. "Iya, Umi."

"Jilbab kamu kenapa bisa banyak darahnya?" tanya Hamzah datar.

Diam, Sheren tidak bisa menjawab pertanyaan Hamzah. Ia memikirkan alasan yang cocok, namun tidak bisa, otaknya tiba-tiba blank. Ia memejamkan matanya sejenak. "A-anu ... hm, Sheren—"

"Saya butuh kejujuran kamu, bukan kebohongan kamu," sahut Hamzah datar membuat Umi Aisyah mencubit lengan Hamzah hingga meringis pelan.

Sheren menundukkan kepalanya, entah hilang ke mana sifat jahilnya. Ia meremas ujung jilbab yang ia pakai guna menghilangkan rasa gugupnya. Mendengar ucapan datar Hamzah membuat jantung Sheren berdetak dua kali lebih kencang dari biasanya.

SHEREN : Albi NadakWhere stories live. Discover now