•7. Berhijab ☃•

26 5 1
                                    

"Perempuan, akan terlihat lebih cantik apabila mengenakan hijab."

※※ Happy Reading! ※※

Mentari bersinar menyapa pagi, burung-burung berkicauan bebas. Hari demi hari ia lewati dengan sedikit perubahan. Entah itu sifat, gaya bahasa, dan sebagainya, namun sifat kebonya masih melekat dalam dirinya. Seperti saat ini, Sheren sedang menyapu halaman masjid dikarenakan ia telat bangun.

Sesekali, punggung tangannya mengusap pelipisnya yang berkeringat. Mulutnya 'tak hentinya bernyanyi sesuai keadaan. "Oh angin bisikkan padanya, ku cinta dia, 'takkan ada yang—"

"AH!" pekik Sheren kesal. Ia melemparkan sapu lidinya ke sembarang arah.

Kakinya mengentak kesal, ia menatap dedaunan kering yang mulai beterbangan lagi karena tertiup angin. Rasanya ingin sekali menebang pohon yang ada di sampingnya ini. Ia duduk di atas rerumputan, punggungnya ia senderkan ke pohon, matanya menatap kegiatan Hamzah dari jauh sana. Seulas senyum terbit dibibirnya.

"Calon suami gue idaman banget," gumamnya tersenyum sendiri.

"Impian emang, andai gue nggak pisah sama Kak Hamzah dari kecil, mungkin kita udah nikah kali, ya."

Gadis itu mulai berandai-andai dalam tatapannya. Senyuman kecil masih nampak diwajah cantiknya. Anila menerpa kulit wajahnya. Lamunannya buyar karena mendengar suara salam pada pendengarannya.

"Ngagetin, ah," ketus Sheren mencebik kesal.

"Afwan, Ren," ujar Athira meminta maaf, kemudian duduk di samping Sheren.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Sheren biasa dan datar.

"Mau bantuin kamu nyapu halaman masjid, eh kamunya duduk di sini, yaudah aku duduk juga," jawab Athira dengan polos.

Sheren mengangguk mengerti, menatap Athira dari atas sampai bawah. Sebenarnya, ia masih sedikit penasaran dengan Athira, siapa dia sebenarnya. Dan mengapa kelihatan dekat dengan Hamzah? Dan bukankah selama ini yang Sheren tahu, Hamzah merupakan orang yang sangat menghindari zina seperti memegang tangan yang bukan mahramnya?

Sontak Sheren melotot. "Lo istrinya Kak Hamzah?" tanyanya mengerjap pelan.

Athira tergelak. "Aku adiknya Mas Hamzah, bukan istrinya."

"Lagipula, Mas Hamzah belum ada calonnya," lanjut Athira.

Sheren berdecak, ia ini calonnya, tapi mengapa tidak diakui oleh Athira? Ah, mengubah mood saja. "Kak Hamzah udah ada calonnya, tapi sayang banget dia nggak nyadar," jelasnya membuat Athira tersenyum.

"Doain dia supaya sadar, aamiin."

Athira mengamini ucapan Sheren. Ucapan adalah doa. "Gue mau ke Kak Hamzah dulu. Bye."

Athira menatap punggung Sheren yang mulai menjauh, ia melihat apa yang dilakukan Sheren. Dilihatnya, Sheren sedang kikuk di depan Hamzah, Kakaknya.

"Hai, Ustadz," sapa Sheren membuat Hamzah terkejut.

Oke, mulai sekarang, Sheren akan memanggil Hamzah seperti santri lainnya. Ia berdiri di depan Hamzah yang ia yakini sedang memantau perkembangan tanaman, terbukti jelas dengan buku yang ada ditangannya.

Hamzah beristigfar pelan, menundukkan pandangan. Sepertinya ia harus terbiasa dengan sifat tiba-tiba Sheren.

Gadis itu menyengir. "Ada yang bisa Sheren bantu, Ustadz?"

Hamzah berpikir sejenak, kemudian menjawab. "Tolong cabutin rumput yang ada disekitar tanaman itu."

"Saya mau nyatat tanaman dan sayuran yang mau dipanen dan juga yang sudah wafat," lanjutnya.

SHEREN : Albi NadakNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ