Oleh-Oleh Dari Mas Bram

10.3K 483 2
                                    

"M-mas, Bram," ucapku tergagap melihat kedatangannya tiba-tiba.

"Udahlah, Nay ngapain kamu bohongin Mama sama Mita, sok-sokan jadi pembantu dengan gaji 12 juta?" tegas Mas Bram.

Seketika Mama dan Mita menatap tajam kearahku.

"Kemarin kamu bilang ATM Mas hilang, tapi ternyata kamu sengaja menyembunyikannya dan memindahkan sebagian saldonya kerekeningmu, untungnya aku segera mengurusnya," ucap Mas Bram sambil melipatkan tangan di depan dada.

"Apa benar, Nay?" tanya Mama.

Aku hanya menunduk diam tak menyahuti.

"Mas gak nyangka kalau, istri Mas pencuri uang suami sendiri."

"A-aku, cu-cuma ...." Mas Bram segera memotong kalimatku.

"Kalau, Mas mau, Mas bisa saja melaporkan tindakkanmu ke polisi," ancamnya.

Seketika membuatku mendongak, dan menatap kearahnya.

"Ja-jangan! Mas," ucapku pura-pura mengiba.

"Jadi uang yang kamu kasih sama aku dan Mama uang, Mas Bram?" tanya Mita geram.

Aku hanya diam, tidak menjawab. Padahal sepeserpun uang Mas Bram yang kupindahkan ke rekening belum kugunakan, dan memakai pemberian dari Oma.

"Udah, Mas laporin aja ke polisi!" ucap Mita mengompori Mas Bram.

"Kalau begitu silahkan saja kalau mau melaporkan aku ke polisi, aku juga bisa melaporkan Mas Bram karena telah berselingkuh sebagai tindakan tidak menyenangkan," balasku tak mau kalah.

"Ha! Kamu ngancam, Mas?" tanya Mas Bram.

"Tidak, Mas mana berani saya ngancem, Mas!" jawabku setenang dan sesantai mungkin.

"Halah sok-sokan mau ngelaporin anak saya segala, kayak beneran punya duit dan bisa bayar pengecara aja," ketus Mama. "Memang kamu punya bukti apa kalau anak saya selingkuh?" tanya Mama dengan angkuh. Apa Mama lupa kalau pernah melihat chatan Mas Bram dan selingkuhannya.

"Lagi ngeributin apa sih?" tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan, bersama langkah yang kian mendekat.

Kompak tatapan kami beralih ke sumber suara, seorang perempuan dengan make up tebal dan bulu mata palsu anti badai berjalan mendekat ke arah kami, kemudian melirik ke arah Mas Bram. Membuat Mas Bram kikuk dan menggaruk tengkuknya yang kuyakin tidak gatal.

'Lho itu, 'kan perempuan yang kemarin sama Mas Bram. Tega sekali, Mas Bram membawa selingkuhannya ke rumah!' gumamku.

"Cari siapa ya?" tanya Mama, sepertinya Mama belum tau perihal perempuan simpanan Mas Bram.

"Em kenalin, Ma ini Meira teman, Bram." Nampak perempuan itu mencebik, mungkin karena Mas Bram mengenalkannya hanya sebagai teman.

"Oh, iya. Kok Mama gak pernah lihat?"

"Em, iya Ma teman kantor, Bram. Baru masuk. Papanya salah satu investor terbesar di kantor tempat Bram bekerja, juga pengusaha minyak,"

Mama hanya manggut-manggut mendengar penjelasan dari Mas Bram. "Wah berarti keturunan ningrat ya?" ucap Mama melempar senyum.

"Ah, Tante bisa aja," jawab perempuan bernama Meira itu terlihat kikuk karena merasa tersanjung.

Masa anak orang kaya tapi minta ditransfer sama, Mas Bram. Membuatku curiga.

"Jadi, Nak Meira ini mau pulang kemana?" tanya Mama lagi.

"Em ...."

"Rencananya, malam ini Meira mau numpang nginap di sini, Ma. Karena, supir pribadi di rumahnya lagi gak bisa jemput. Mami sama Papanya lagi ke luar negeri" Mas Bram memotong ucapan Meira dan menjelaskan dengan panjang lebar.

What!

Nginap di sini? Apa Maa Bram sengaja?

"Wow luar negeri." ucap Mama takjub, "Ya udah kalau gitu, Meiranya tidur di kamar, Mita aja. Biar Mita tidur sama, Mama. Soalnya kamar tamunya jarang di tempatin takut, kulit Neng Meira yang halus ini alergi," ucap Mama sambil mengulas senyum. Sungguh alasan yang tidak masuk akal.

"Tapi, Ma ...." Mita hendak protes, bibirnya mencebik tak terima dengan sikap Mama.

"Maaf, Tante jadi ngerepotin," ucapnya dengan wajah tak enak, entah sungguhan atau hanya pura-pura.

"Nay, itu kamar, Mita tolong kamu rapiin dulu, biar Neng Meira bisa tidur dengan nyenyak," titah Mama.

What?

Ngebersihin kamar Mita buat selingkuhannya, Mas Bram. No, no aku tidak sudi. Meski kita harus memuliakan tamu, tapi kalau sudah begini beda cerita.

"Aduh! Maaf, Ma. Tiba-tiba perutku mules, aku pamit ke toilet dulu ya!" Aku pura-pura sakit perut.

"Gimana sih, pake sakit perut segala? Ya udah Mit sekarang kamu yang bersein kamarnya,"

"Tapi, Ma ...." Dua kalu Mita dibuat kesal, membuatku ingin tertawa tetapi, tentunya Mita tidak bisa menolak permintaan nyonya besar di rumah ini.

"Coba kalau Bram belum punya istri, pasti Mama jadiin mantu, Neng Meiranya," ucapan Mama samar tertangkap telinga saat aku akan membuka handle pintu, membuat dadaku terasa nyeri.

Aku masuk kamar dengan langkah gontai menuju kamar mandi bukan lantaran cepat-cepat ingin ke toilet, tapi mencuci wajah yang rasanya terasa ikut menghangat bersama mata yang berkaca-kaca lantaran sikap dan prilaku Mas Bram dan Mama yang keterlaluan. Apa ini oleh-oleh dari Mas Bram untukku, setelah dinas ke luar kota?

Usai mencuci muka aku pun keluar, kulihat Mas Bram tengah berbaring di atas sofa.

"Kenapa, Mas tidak jujur saja pada Mama kalau Meira bukan temanmu, tapi selingkuhanmu," ucapku sembari mengeringkan wajah dengan handuk. Berusa untuk tetap tenang dan santai.

"Ngomongan apaan sih, kamu?" Mas Bram mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk.

"Sudahlah, Mas. Mas bisa saja membohongi Mama tapi tidak denganku. Aku sudah tau semuanya,"

Mas Bram terdiam, seperti tengah memikirkan sesuatu sambil menatap ke arahku.

"Apa perlu aku yang mengatakannya?"

"Jangan gila kamu,"

"Mengakulah, Mas kalau Meira itu selingkuhanmu! Sudah sejauh apa hubungan kalian, atau aku sendiri yang akan menghampiri perempuan tidak tau diri itu?" desakku.

"Hentikan Naya! silahkan kamu ambil uang di ATM, Mas. Tapi, tolong jangan kamu ganggu Meira, dia tamu dirumah kita," tegas Mas Bram.

Aku terperangah mendengar ucapan Mas Bram. Apa perempuan itu lebih berharga dari aku, dan ATMnya?

Tok ... Tok ... Tok ...

"Mas, Mas, Bram di dalam?" Terdengar seseorang memanggil Mas Bram dari balik pintu. Aku menatap Mas Bram lalu berjalan membukan pintu.

Begitu pintu terbuka terlihat, Meira sudah berdiri di depan pintu sambil tersenyum, melihat aku yang membukankan pintu senyum itu berubah dengan tatapan tak suka sembari melipatkan tangan di depan dada.

Aku pun membalasnya dengan tatapan sengit.

"Mana Mas Bram?" ketusnya.

"Mau apa kamu mencari, suami saya?" tegasku.

Ia tersenyum sinis. "Asal, Mbak tau ya, Mas Bram itu cinta mati sama saya, dan sebentar lagi kami akan menikah." Meira memamerkan sebuah cincin yang melingakr dijari manisnya dengan angkuh.

"Cepat minggir, saya perlu sama Mas Bram bukan sama, Mbak," sergahnya.

Meira mendorong tubuhku, hingga membuat kuterjatuh. "Ups, maaf ya, Mbak!" ucapnya pura-pura merasa bersalah, dengan tatapan ejekan. Lalu, berjalan melewatiku.

Setengah mati aku menahan geram atas perlakuakan perempuan su*dal itu. Aku pun segera bangkit dan menar*k rambut panjangnya dengan kuat hingga ia meringis kesakitan dan terjatuh.

"Kita impas," imbuhku, sambil menatap ke arahnya yang terduduk di atas lantai.

"Naya ...." Seketika suara berat Mas Bram memanggil namaku, membuat terasa ngeri.

MEMBUAT SUAMI MENYESALWhere stories live. Discover now