Kecurigaan Mita

10.5K 493 7
                                    

"Mau apa lagi kamu datang ke sini?" tanya Mama ketus, sembari berkecak pinggang melihat ke arahku dan Rania. Tidakkah Mama ada perasaan iba terhadap cucunya ini? Sehingga dengan ketusnya bertanya demikian.

Aku hanya tertunduk tidak menjawab, dan pura-pura sedih. Karena tidak ada tempat untuk pulang, dan menyuruh Rania untuk masuk, tidak baik anak kecil mendengar orang tua teriak-teriak.

"Heh! Mama tanya malah diam aja bukannya dijawab! Kamu budeg?"

"Ada apa sih, Ma?" Mita muncul dari dalam mendengar Mama teriak-teriak.

"Itu lihat Kakak, iparmu yang tak tau diri datang lagi!"

Mata mita terbelalak menatap ke arahku, seketika aku menyadari kalau ternyata aku lupa mengganti pakaian dan menghapus riasan di wajahku, gawat. Namun, secepat mungkin Mita bisa menguasai dirinya dari rasa takjub melihat penampilanku, lalu terkekeh.

"Itu ngapain pake dandan segala, mau bermimpi jadi orang kaya? Atau mau berpura-pura kayak di cerita-cerita KBM itu, pura-pura miskin ternyata kaya?" cerca Mita dengan ejekan. "Jangan mimpi ya, Mbak! Itu hanya ada dicerita. Kalau Mbak mau tinggal di sini lagi, Mbak harus nurut apa kata Mama, juga aku!" tegasnya dengan nada sombong.

"Maaf ya, Mit. Mbak di sini nikah sama Mas Bram bukan sama kalian, jadi Mbak hanya akan melakukan perintah, Mas Bram itu pun kalau, perintahnya bener," tegasku.

"Udah jangan kebanyakan gaya, jadi gembel aja sok-sokan. Udah sana pergi, ngapain masih di sini ngerusak pemandangan aja!" tegas Mama, seolah aku ini seonggok sampah.

Aku hanya diam, berdebat sama Mama dan Mita hanya buang-buang tenaga dan waktu, tetapi untuk bisa masuk aku harus melewati dua orang yang bertindak sebagai penguasa di rumah ini. Labih baik aku pura-pura budeg. Aku pun ngeloyor berjalan ke arah pintu berniat masuk ke rumah.

"Eh, eh ngapain kamu?"

"Mau masuk, Ma," ucapku pura-pura bodoh. "Tadi, Mama nyuruh pergi, Naya mau pergi ke dalam." ucapku seraya menunjuk ke dalam rumah.

"Enak saja!" tegas Mama.

Mita berbisik ditelinga Mama, entah apa yang dikatakannya hingga membuat Mama akhirnya mengangguk setuju.

"Baiklah, kamu boleh tinggal di sini tentunya dengan syarat!" ujar Mama.

"Apa, Ma?" tanyaku penuh harap.

"Sekarang cepat kamu kerjakan pekerjaan di dapur dan pekerjaan rumah lainnya!"

Aku menghela nafas, lalu membuangnya dengan masygul. Bukankah itu pekerjaan yang mudah, dan sering kulakukan, namun sepertinya ada sesuatu yang tidak beres, perasaanku jadi tidak enak.

"Ma, Naya boleh istirahat sebentar gak, sebelum ngerjain pekerjaan rumah? Naya capek!" ucapku.

"Enak saja, capek-capek! kamu pikir bisa numpang tinggal gratis?" Suara Mama meninggi.

"Tapi, Ma, Naya benaran capek. Boleh istirahat sebentar gak, Ma!" tanyaku memelas, pura-pura minta di kasiani. Mereka tidak tau siapa aku sebenarnya kalau mereka tau tentu Mama yang matrealistis itu, mungkin akan memperlakukanku dengan baik, begitu pun Mita pun akan bersikap baik.

"Tidak ada capek-capek, enak saja, cepat kerjakan!"

Pelan aku pun mulai masuk, dengan diiringi Mama dan Mita. Baru saja beberapa langkah Mita mendorong tubuhku dengan kuat hingga membuatku hampir terjatuh, aku menahan geram. Sabar Naya, aku mencoba untuk menahan emosi. Kalau kutunjukkan siapa aku sekarang kelar hidup kalian! Orang sok kaya seperti kalian tentunya tidak ada apa-apanya.

"Mita, bisa gak gak usah dorong-dorong," protesku.

"Udah gak usah kebanyakan protes," jawab Mita tak terima.

"Ma, Naya taruh tas ke kamar dulu ya!"

"Hem, jangan lama-lama!"

Aku segera melangkah menuju kamar, kulihat Rania tengah berbaring di atas tempat tidur dengan posisi tengkurap, ternyata Rania tertidur.

Aku segera membenarkan posisinya dan mengganti pakaianku dengan pakaian biasa kukenakan, bisa-bisanya aku kelupaan mengganti baju, untung mereka tidak curigai.

Setelahnya aku pun ke luar menemui Mama dan Mita.

"Udah cepat sana kerjakan!"

"Iya, Ma!" Aku berjalan ke arah dapur, seketika bola mataku rasanya mau melompat melihat pemandangan ini, meja makan yang berserakan penuh sisa makanan, dengan lalat berterbangan di atas piring bekas pakai, ternyata di atas wastafel juga sudah numpuk cucian piring dan gelas kotor. entah sudah berapa hari Mama dan Mita tidak mencuci piring. Mataku kembali terbelalak melihat cucian pakaian yang menumpuk di atas mesin cuci dan ember.

Allahuakbar!

Rasanya aku ingin teriak kalau saja aku tidak menahan diri, nafasku memburu menahan geram, kesal dan amarah. Sabar Naya!

Sementara Mama dan Mita kudengar terkikik, mungkin merasa senang melihatku harus mengerjakan ini semua. Baiklah, Ma dan adik iparku yang cantik bersenang-senanglah sebentar!

Aku bergegas membersihkan piring-piring kotor, lalu menyapu dan mengepel lantai, seketika wangi pembersih lantai menguar menusuk indera penciuman membuat pikiranku sedikit lebih tenang, dari sebelumnya. Selesai mengerjakan itu, aku segera beralih ke tempat pencuci pakaian.

Sialnya mesin cuci lagi rusak itu artinya aku harus mencuci manual, tenaga dan emosiku rasanya benar-benar terkuras.

Baiklah aku pun segera mengambil baskom besar dan mengisinya dengan sebungkus deterjen ukuran besar dan mencucinya dengan menggunakan kaki. Mama dan Mita tidak tau karena terlalu asik ngobrol di ruang tamu. Biarkan saja!

Akhirnya pekerjaanku selesai juga, tubuhku benar-benar terasa lemas mengerjakan semua itu, aku pun duduk di kursi makan, sembari menuangkan air ke dalam gelas lebih baik aku istirahat.

"Eh, eh enak ya santai-santai, cepatan masak! Mama sama Mita sudah lapar," ketus Mama saat aku baru saja duduk untuk istirahat.

"Tapi, Ma. Aku masih capek," sanggahku dengan peluh yang masih bercucuran.

"Gak ada capek-capekan, kamu mau Mama sama Mita mati kelaparan," ucap Mama asal.

"Sebentar saja ya, Ma," ucapku memelas.

"Gak bisa! Udah cepat sana masak!"

"Pesan aja ya, Ma. Naya beneran masih capek."

"Halah gembel aja belagu, sok-sokan pesan segala kayak punya duit aja!" protes Mama saat mendengar ideku.

Tubuhku benar-benar lemas, aku pun segera mengeluarkan beberapa uang warna merah dan menyerahkannya ke Mama. Membuat mata Mama terbelalak, dengan senyum mengembang lalu mengambil uangnya dengan kasar.

"Mama sama Mita beli apa saja yang Mama dan Mita mau!" ujarku, tidak apa aku mengeluarkan sedikit uang, dari pada aku harus pingsan karena kecapekan.

Melihat aku mengulurkan uang warna merah-merah ke Mama, Mita pun datang.

"Duit dari mana nih, Mbak nyuri ya?" tebaknya asal.

"Enak saja, Mbak kerjalah!" balasku tak terima atas tuduhannya.

"Kerja? Kerja apa?"

Aku diam sejenak bingung mau jawab apa, tidak mungkin jujur siapa aku sebenarnya.

"Em ... Mbak kerja jadi pembantu," ucapku asal.

Mereka terkekeh. "Ya iyalah, apa lagi yang bisa Mbak lakukan kalau bukan jadi pembantu?"

"Tunggu! Sejak kapan Mbak kerja jadi pembantu? sementara, Mbak baru seminggu pergi dari rumah, Mbak pasti bohong?" tanya Mita curiga, dengan tatapan penuh intimidasi. Membuatku gelagapan.

Mati aku, harus jawab apa? 

MEMBUAT SUAMI MENYESALTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon