Terjebak Hujan

7.3K 472 1
                                    

"Hallo, Ibu Naya ini saya Bayu asistennya Bu Lastri," sapanya dari ujung ponsel.

"Iya, Pak Bayu ada apa?" tanyaku balik.

"Bisakah, Anda ke rumah sakit sekarang? Bu Lastri ingin bertemu!"

"Baik, Pak saya akan kesana. Tapi, saya mau izin suami dulu, dan siap-siap," jawabku.

"Baik, Bu. Terima kasih."

Sambungan telpon pun terputus, aku segera mencari nama Mas Bram dalam daftar kontak 'My Husband' untuk meminta izin.

[Assalamualaikum, Mas saya minta izin keluar] pesan pun terkirim dengan centang dua. Selama menunggu balasan dari Mas Bram sebaiknya aku mandi saja dulu.

Aku kembali meletakkan ponsel dan berlalu menuju kamar mandi. Usai mandi aku segera keluar untuk bertukar pakaian yang sengaja tidak kubawa ke kamar mandi.

Sembari mengeringkan rambut, aku mengecek ponsel melihat pesan balasan dari, Mas Bram.

[Iya] hanya itu balasannya, tidak ada kata tanya kemana dan sama siapa. Apa karena Mas Bram begitu sibuk atau karena tidak begitu mengkhawatirkanku, ah entahlah. Mungkin juga karena ia begitu mempercayaiku. Lebih baik aku segera bersiap-siap.

Aku mengambil celana kulot warna coklat dengan baju kemeja warna mustard lengan panjang, yang kupadukan dengan warna kerudung senada. Ini lebih terlihat sopan, untuk mengunjungi Oma.

Aku baru ingat kalau tadi pagi aku melempar kartu ATM Mas Bram ke kolong ranjang, aku pun segera mencarinya jangan sampai hilang benaran. Setelah mencari-cari selama beberapa menit akhirnya ketemu. Aku pun segera membersihkan sisa debu yang menempel, lalu menatap kartu ATMnya, dengan tersenyum karena teringat sebuah rencana. Aku segera ke luar kamar, dan pamit sama Mama.

"Ma, Naya pamit keluar dulu ya!" ucapku sama Mama yang tengah ngemil di ruang tamu sembari memainkan ponsel.

"Hem, jangan lupa Ranianya di bawa!" jawab Mama sambil terus memainkan ponsel pintar miliknya, tanpa menatapku.

"Iya, Ma."

Aku segera mengajak Rania yang tengah bermain di teras depan lalu mengganti bajunya. Kami pun segera pergi dengan menggunakan grab yang sudah kupesan.

"Pak, sesuai alamat di aplikasi ya!" ucapku saat aku dan Rania akan naik ke mobil.

Pak supir yang kutaksir berusia sekitar 45 tahun itu pun mengangguk sembari tersenyum ramah.

Tiba di rumah sakit aku segera, mampir ke ATM terlebih dahulu untuk memindahkan tabungan Mas Bram ke rekeningku, ternyata aku tidak bisa mentransfer semua saldo yang ada, tidak mengapa kupindahkan dulu yang bisa, lain kali akan kupindahkan lagi. Setelahnya aku mengajak Rania menemui Oma.

"Ma kita mau ketemu Oma lagi ya?" tanya Rania saat kami berjalan bersisian sembari kegandeng tangannya.

"Iya, Sayang. Kamu senang gak?" tanyaku pada putri kecil yang nampak bersemangat.

"Aciiikkk, cenang, Ma," jawabnya dengan nada cadel. Aku pun tersenyum.

Tiba di depan pintu ruangan Oma, aku segera menekan handle pintunya sembari mengucap salam. Saat pintu terbuka, di atas tempat tidur nampak Oma tengah duduk. Oma pun segera menjawab salamku dan mengajak kami masuk.

Dengan sigap Pak Bayu berdiri mempersilahkan kami masuk, aku hanya mengangguk lalu tersenyum.

"Gimana kabar, Oma?" tanyaku basa-basi.

"Alhamduliillah, Oma sudah lebih baikan," jawab Oma tersenyum.

"Sayang salim, Omanya dulu gih!" titahku pada Rania.

Rania pun segera menyambuy tangan Oma dan menciumnya dengan takzim.

"Anak, manis. Oma kangen," ujar Oma pada Rania. Lalu mencium pipi Rania, dan memberi coklat. Rania begitu nampak senang.

"Lania juga kangen, Oma," balas Rania lalu tetsenyum lebar.

"Maaf, Oma, Naya jarang kunjungi, Oma," sesalku.

Oma Lastri hanya tersenyum hingga menampakkan deretan giginya yang putih.

"Oma mengerti, sebagai istri kamu pasti sibuk. Oma bosan di sini pengen pulang, tapi belum diizinkan," keluh Oma kemudian.

Aku hanya tersenyum mendengar keluhan Oma.

"Iya, Oma. Oma yang sabar ya nanti juga pasti pulang," ucapku memberi semangat.

"Oma sudah makan?" tanyaku, melihat makanan khusus untuk pasien belum tersentuh sedikitpun.

Oma menggeleng, "Oma gak lapar!"

"Oma makan ya, biar Naya suapin. Katanya Oma mau cepat pulang, Oma harus makan yang banyak biar cepat sehat," bujukku.

Tanganku dengan cekatan mengambil makanan, lalu dengan talaten menyuapi Oma. Akhirnya Oma pun makan dengan lahap tanpa terasa makanannya tinggal sedikit lagi, sementara duduk di sisiku sambil makan coklat pemberian Oma.

Tanpa terasa waktu terus bergulir, jam menunjukkan pukul 16.45, aku baru saja melaksanakan salat Asar dan berniat untuk pulang takut Mas Bram sudah pulang terlebih dulu.

"Sekarang, Oma istirahat ya! Cepat sembuh. Naya pamit pulang, Insha Allah. Naya dan Rania akan kunjungi Oma lagi," ucapku sambil menyelimuti tubuh Oma.

Oma pun tersenyum, "Terima kasih, Sayang sudah kunjungi Oma," ucap Oma.

"Iya, Oma." Aku pun tersenyum.

Saat akan pulang tiba-tiba di luar hujan turun dengan sangat deras, terpaksa aku menunda untuk pulang. Aku sudah izin sama Mas Bram kalau lagi keluar. Aku pun kembali mengirim pesan karena belum bisa pulang.

[Maaf, Mas belum bisa pulang di sini hujan] pesan terkirim dan centang dua.

"Udah pulangnya nanti aja, tunggu hujannya reda, kasian itu cucu Oma juga masih tidur," ucap Oma sembari melihat ke arah Rania yang tertidur di atas sofa.

Akhirnya aku setuju, sembari menunggu hujan reda aku melirik ke luar lewat jendela di luar hujan begitu deras.

Akhirnya setelah menunggu hampir dua jam hujan pun reda, aku harus segera pulang. Rania juga sudah bangun.

"Mari saya antar, Bu!" ujar Pak Bayu.

"Tidak usah, Pak saya naik grab saja," tolakku halus.

"Naya, biarkan, Bayu mengantar kalian sampai rumah, dan memastikan kalian pulang dengan selamat. Biar Oma bisa tenang," ujar Oma dengan penuh pengharapan.

Akhirnya aku pun tidak bisa menolak dan menerima tawaran, Oma.

Di luar masih gerimis, "Ibu, tunggu di sini saya ambil mobil dulu!"

Aku hanya mengangguk, tidak lama kemudian Bayu muncul dari arah parkiran aku dan Rania pun segera naik ke mobil.

Akhirnya kami sampai, aku dan Rania pun segera turun.

"Terima kasih, Pak!"

"Sama-sama, Bu. Tolong diterima titipan dari, Bu Lastri untuk Ibu," ucap Pak Bayu sembari memberikan paper bag kecil ke arahku.

"Apa ini?" tanyaku penasaran.

"Saya tidak tau, Bu. Saya hanya disuruh memberikannya pada, Ibu," balas Pak Bayu.

Saat membuka isinya mataku terbelalak tak percaya sebuah liontin yang sangat indah dan pasti mahal harganya.

"Maaf, Pak saya tidak bisa menerima ini!" Aku kembali menyerahkan paper bagnya.

"Tolong diambil, Bu. Bu Lastri pasti sedih kalau Ibu menolak, Ibu tidak maukan kalau, Bu Lastri sedih?"

Aku terdiam sejenak mengingat Oma baru saja sembuh, takut jadi pikiran akhirnya aku menerimanya. Tidak apa, lain kali biar aku sendiri saja yang mengembalikannya dan berbicara sama Oma.

"Baiklah, sekali lagi terima kasih, Pak!" ucapku.

Pak Bayu tersenyum, "Kalau begitu saya permisi!"

Setelah mobil Pak Bayu pergi, aku dan Rania pun segera masuk, saat membuka pintu gerbang kulihat Mas Bram sudah menunggu di teras rumah dengan wajah yang tidak bisa kuartikan tangannya terlipat di depan dada. Seketika perasaanku menjadi tidak enak. 

MEMBUAT SUAMI MENYESALWhere stories live. Discover now