Sebuah Kenyataan

12.7K 647 4
                                    

Kenapa ada Ibu sama Bapak di sini? Apa Oma sudah menceritakan semuanya? Bagaimana ini padahal aku selalu saja menutupi semuanya, agar Ibu dan Bapak tidak tau masalahku hingga membuat mereka sedih. Apa Oma sengaja merencanakan ini semua? Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk dalam hatiku. Perasaan sedih, kesal dan lainnya seketika bercampur menjadi satu.

"Naya, sini, Nak!" ucap Oma sembari tersenyum lebar.

Pelan aku melangkah mendekat ke arah Ibu dan Bapak, tanpa mempedulikan Oma. Rasa penasaran sungguh tidak bisa kusembunyikan.

"Ibu, Bapak kok bisa ada di sini?" tanyaku sembari menyambut tangan keduanya lalu menciumnya dengan takzim.

Mata Ibu langsung berkaca-kaca, Bapak pun terlihat menyeka sudut matanya. Ada apa ini? Apa mereka sudah tau tentang permasalahanku dengan Mas Bram?

"Ibu, Bapak maafin, Naya kalau buat Ibu sama Bapak sedih," ucapku seraya menggenggam tangan keduanya.

"Ibu, sama Bapak yang harusnya minta maaf karena ...." Ibu semakin terisak tanpa sanggup melanjutkan kalimatnya, membuatku semakin kebingungan.

"Ibu, kenapa malah menangis?" Aku berusaha menghapus air mata, di wajah Ibu yang mulai keriput.

"Se-sebenarnya ka-kamu bu-bukan anak kandung Ibu sama Bapak!" Air mata Ibu kian tumpah, sementara Bapak tidak henti-hentinya menyeka sudut matanya, baru kali ini aku melihat Bapak menangis.

"Ma-maksud, Ibu?" Aku bertanya terbata, tidak percaya akan kalimat yang terlontar dari bibir Ibu. "Ibu bercanda, 'kan?" tanyaku lagi.

Ibu menggeleng pelan, disertai isak yang kian membuat semakin tergugu. Aku terduduk lemas, antara percaya dan tidak. Jika aku bukan anak kandung Ibu dan Bapak lalu, siapa orang tua yang telah tega membuangku?

"La-lalu siapa orang tuaku se-sebenarnya?" tanyaku dengan debaran jantung yang tak karu-karuan.

"Ibu Lastri adalah Nenek kandungmu!" ucap Ibu terisak.

Ha! Rasanya aku benar-benar tidak percaya dengan semua ini, perasaan sekita terasa menjadi nano-nano bercampur menjadi satu rasa.

Aku menatap Oma Lastri yang tengah duduk di bibir ranjang, gurat penyesalan, sekaligus perasaan lega begitu kentara di wajahnya.

"Mendekatlah, Nak!" ucap Oma.

Aku masih bergeming, berusaha mencerna semua yang terjadi.

"Oma sudah lama mencarimu, maafkan Oma!" Oma merentangkan tangannya untuk segera memelukku, perlahan aku mendekat mencoba berdamai dengan hati dan keadaan.

"Waktu itu, Oma sengaja menitipkanmu dengan orang tua angkatmu, karena sibuk bekerja melanjutkan perusahaan yang sudah dibangun susah payah oleh kedua orang tuamu. orang tuamu meninggal dalam sebuah kecelakaan. Oma bertekad untuk melanjutkan perusahaanya demi kebahagian masa depanmu, hingga terpaksa menitipkanmu.

"Tapi, Oma selalu mengunjungimu. Hingga suatu ketika sekitar 10 tahun yang lalu Oma kehilangan kontak karena kalian pindah. Ibu dan Bapak angkatmu juga tidak pernah menghubungi Oma." Oma bercerita panjang lebar, mengingat masa lalu dengan penuh sesalan.

"Kami minta maaf, Bu!" sambung, Ibu dan Bapak bersimpuh di kaki Oma. Namun, aku segera mengangkat tubuh keduanya, tidak selayaknya manusia bersujud di kaki manusia.

"Maafkan, kami yang telah memisahkan Ibu dan Naya. Kami sangat menyanyanginya, kami begitu takut kehilangannya." Sesal Ibu dan Bapak.

Oma hanya mengangguk, lemah meski masih terlihat kecewa, karena terpisah dengan cucu yang katanya adalah aku.

Aku yang masih bingung dengan keadaan ini hanya bisa mendengar dengan seksama. Perasaan kesal dan marah, sedikit mereda saat aku menyadari bahwa hidup ini adalah sekenario Tuhan, kita hanya bisa berencana dan Tuhanlah yang menentukan.

Bukankah hidup akan terasa lebih baik saat kita mencoba menerima sebuah kenyataan, ketimbang terus-terusan merutuki nasib sehingga membuat beban dihati dan juga pikiran.

Setelah melewati semua kisah kesedihan ini, keadaan sudah mulai mencair Ibu dan Bapak mulai bisa tersenyum. Begitupun dengan Oma. Aku pun merasa lebih baik dan lega karena diberi kesempatan untuk mengetahui semua rahasia ini. Aku tidak percaya jika ternyata aku bukan anak kandung Ibu dan Bapak.

Waktu terus beranjak sore, Rania nampak tertidur pulas di atas sofa karena kelelahan bermain sama Ibu dan Bapak, ia nampak begitu senang bertemu Kakek dan Neneknya.

"Nay, Ibu sama Bapak mau pamit pulang!" ucap Ibu dengan wajah sedih karena harus berpisah.

"Pulangnya nanti aja, Bu, Pak. Naya dan Rania masih kangen!" cegahku dengan raut sedih.

"Iya, Bu, Pak menginaplah dulu sehari, dua hari!" timpal Oma.

Ibu melihat ke arah Oma, kemudian menatapku dengan wajah sendu. Lalu, beliau tersenyum sambil mengangguk. Aku pun tersenyum dan memeluk tubuhnya. Bagiku mereka tetap orang tuaku, meski tidak melahirkanku.

***

Pagi ini, Dokter Irfan kembali memeriksa Oma seperti biasanya. Mengecek keadaan dan kondisi tubuh Oma.

"Hari ini, Ibu sudah boleh pulang!" ucap Dokter Irfan sambil tersrnyum.

Oma pun tak kalah bahagia, mendengar perkataan Dokter Irfan.

"Terima kasih, Dok!" Oma berucap dengan binar bahagia.

"Bagaimana, Bay apa semua administrasinya sudah diselesaikan?" tanya Oma ke Bayu.

"Sudah, Bu! Semua sudah beres." balas Bayu asisten pribadi Oma, yang selalu sigap melayani Oma.

Setelah berkemas-kemas akhirnya kami pulang ke rumah Oma, aku dan Rania menemani Oma di dalam mobil yang dibawa Bayu. Sementara Ibu sama Bapak naik mobil satunya lagi.

Rupanya sebelum pulang Oma sudah menelpon Pak Rudi supir pribadi yang bekerja di rumah Oma.

Kami pun sampai di rumah Oma. Sebuah rumah megah lantai dua dengan gaya modern. Aku tercengang ternyata rumah Oma sebesar dan semegah ini, dan aku lebih tidak percaya bahwa Oma Lastri adalah Nenek kandungku.

Saat memasuki rumah aku kembali dibuat takjub, dengan segala isi dan ornamen yang menghiasi setiap sudut ruangan.

Beberapa perempuan yang kutebak sebagai asiten rumah tangga menyambut kedatangan kami, dan mengemasi barang-barang. Lalu kami pun duduk di sofa ruang tamu.

Tidak lama kemudian datang perempuan sekitar 45 tahun membawakan nampan yang berisi minuman dan kue kering.

"Nah, Naya mulai sekarang rumah Oma juga rumahmu. Karena kamu adalah pewaris tunggal seluruh harta kekayaan Oma," ucap Oma sembari tersrnyum.

Rasanyanya aku masih seperti mimpi mendengar semua kenyataan ini, aku yang selalu dihina mertua dan ipar karena miskin ternyata adalah pewaris tunggal dalam keluarga Oma Lastri.

"I-iya, Oma," jawabku gugup karena masih terasa asing dan canggung.

"Ayo, silahkan diminum!" ujar Oma.

Ibu dan Bapak masih terlihat canggung, begitu pun aku. Sementara Rania nampak kegirangan.

"Terima kasih, Bu," ucap Ibu ke Oma.

"Sekarang, Ibu lega kamu sudah bertemu dengan Ibu Lastri, Nenek kandungmu. Tapi, bagi Ibu kamu tetap anak Ibu," ucap Ibu sedih.

Aku segera bangkit dan pindah kesamping Ibu, seraya memeluk tubuhnya. "Bagi, Naya Ibu tetap Ibu Naya yang terbaik." Tanpa terasa air mataku menetes.

"Ngomong-ngomong suami kamu dimana, Nak kok dari kemarin Ibu gak lihat?" tanya Ibu.

Deg!

Seketika hatiku menjadi bingung harus menjawab apa? Sementara Ibu terus menatapku dengan penasaran. Apa yang harus kukatakan?

MEMBUAT SUAMI MENYESALWhere stories live. Discover now