Lidah Tak Bertulang

34.4K 1K 10
                                    

"Bram, kamu jangan lupa nanti malam kita mau pergi kondangan, anaknya teman Mama?" ucap Mama sembari menyuapkan makananannya.

"Iya, Ma." jawab Mas Bram santai, kedua tangannya sibuk menyendok makanan dalam piringnya.

"Mas, aku ikut ya!" pintaku tiba-tiba. Entah keberanian dari mana, aku bisa berucap demikian.

"Ih ngapain, Mbak Nay ikut segala, yang ada nanti hanya bikin malu," sinis Mita adik iparku yang baru duduk di kelas dua SMA itu berucap.

"Tapi, Mbak juga pengen pergi kondangan," ujarku.

Mita terbahak. "Jangan-jangan, Mbak Naya belum pernah kondangan ya?"

Aku hanya mengangguk pelan, aku memang belum pernah pergi kondangan dengan kelas mewah, dulu pernah waktu masih dikampung dengan musik dangdutan. Selama menikah Mas Bram tidak pernah mengajakku, entah memang tidak pernah ada undangan atau apa, yang jelas ia tidak pernah membahas itu.

"Omaigat! Jadi benar, Mbak Naya belum pernah pergi kondangan kelas mahal? Hati-hati lho Mbak kondangan orang kaya, tempatnya luas nanti Mbak nyasar," ucapnya mengejek, lalu terkekeh. Aku hanya bisa mencebik mendengar ucapan adik ipar yang kurang sopan itu.

"Udah ah, Mita mau berangkat sekolah dulu nanti telat." Lalu ia mengadahkan tangannya ke Mas Bram untuk minta uang jajan.

Mas Bram pun segera mengeluarkan dompet dari saku celananya, dan mengangsurkan uang lima puluh ribuan satu lembar.

"Kok cuma segini sih, Mas? Kuranglah!" protesnya, dan kembali mengadahkan tangan. Mas Bram pun kembali mengambil selembar uang berwarna merah dan memberikannya.

"Nah gitu dong, Mas itu baru Mas Bram yang baik! Makasih!" puji Mita dengan gaya khasnya. Lalu, segera menyalami, Mama dan Mas Bram. Saat akan menyalamiku ia hanya menyentuh ujung jariku. Lalu menatapku dengan penuh ejekan.

Meski sikap Mita begitu ke padaku, Mama tidak pernah menegurnya begitupun Mas Bram hanya cuek saja. Sementara aku hanya bisa mengelus dada, sabar Naya.

Setelahnya kami pun melanjutkan sarapan dalam keheningan. Kemudian Mas Bram pun pamit untuk pergi kerja. Aku segera menyalami tangannya seperti biasa, setelah ia menyalami, Mama.

"Gimana, Mas aku boleh ikut tidak?" tanyaku lagi memastikan jawaban dari, Mas Bram saat aku mengantarnya di ambang pintu.

"Terserah," balas Mas Bram lalu berlalu pergi.

"Heh! Ngapain sih, Nay pake mau ikut segala?" ketus, Mama bertanya saat aku kembali ke meja makan. "Udah gak usah sok-sokan mau ikut pergi kondangan segala, tugasmu itu di rumah berbakti sama suami. Lagian memangnya kamu punya baju buat kondangan?"

Aku menggeleng, aku tidak ingat pasti kapan terakhir beli baju, yang kuingat saat aku dan Mas Bram masih pengantin baru, sekarang usia pernikahan kami sudah hampir tiga tahun dan sudah dikarunia seorang putri berusia 2 tahun.

"Udah gak usah kebanyakan gaya cepat beresin meja makannya, sebelum Rania bangun nanti dia rewel bikin, Mama pusing!" Mama bangkit dari kursinya, dan berlalu meninggalkanku.

Ah, memangnya apa salahku ingin ikut pergi kondangan bersama suami dan juga mertua, aku juga ingin seperti orang-orang yang bahagia pergi bersama.

Aku menghela nafas, dan membuangnya perlahan. Setelah kerja seharian rasanya ku juga ingin pergi keluar merefres otak yang terasa keram dengan segala pekerjaan rumah yang tidak pernah habis.

Aku pernah meminta untuk punya pembantu khusus beres-beres rumah, biar masak tidak apa aku saja. Rasanya begitu lelah dengan segudang pekerjaan rumah, ditambah cucian Mama dan juga Mita harus aku yang mengerjakan belum lagi aku juga harus mengurus Rania yang jauh lebih penting dari pekerjaan rumah.

MEMBUAT SUAMI MENYESALWhere stories live. Discover now