Bagian 17

1K 94 60
                                    

Deolinda❤️

Nev, aku agak telat, ya?

Papa nyuruh antar Farel ke bandara.

Tadi dia mampir ke rumah.

Nevan tak henti-hentinya menatap layar ponsel dan membaca pesan yang dikirim oleh Raline. Dia berharap kalau ini hanya mimpi.

Jujur saja, Nevan takut. Farel punya banyak nilai plus dibandingkan dirinya di mata Raline. Nevan sadar kalau kehadirannya memang salah sejak awal.

Hanya saja, Nevan ingin mencoba berjuang. Dia tidak ingin menyiakan kesempatan karena baru sekarang ia baru bisa benar-benar memperjuangkan Raline—perempuan yang dicintainya.

Meski Raline mengatakan kalau perempuan itu juga mencintainya, tidak ada yang tidak mungkin kan untuk dia kembali ke pemeran utama?

Nevan merasa, dia hanya pemeran pembantu yang selama ini ada di hidup Raline yang kehadirannya menjadi kebersalahan.

Sudah hampir setengah jam Nevan berdiri di depan lift yang berada di lantai dua kantornya untuk menyambut kedatangan Raline, meski laki-laki itu tidak membalas pesannya dan berharap kalau ini hanya mimpi.

Bukannya apa, Nevan tidak ingin perjuangannya sia-sia seperti dulu.

"Pak Nevan, ada yang bisa saya bantu?" tanya satpam yang berjaga di dekat lift lantai dua. Memang lantai dua dijaga lebih ketat karena banyak projek Nevan disimpan disini.

Sepertinya satpam tersebut juga kebingungan melihat kelakuan bosnya.

Nevan menggeleng pelan. Dia memasukkan kedua tangannya ke kantung celana dasar yang ia gunakan sembari memejamkan mata.

Karena memejamkan mata, Nevan tidak sadar kalau angka lift yang tadinya menunjukkan angka satu, kini mulai bergerak ke angka dua.

Ting!

Nevan membuka mata, refleks menegakkan tubuhnya ketika mendengar suara lift berdenting. Dia menunggu pintu lift terbuka dengan harap-harap cemas.

Dan.. saat pintu lift terbuka, sosok yang sedari tadi ditunggunya muncul dengan senyum teduh.

Nevan maju beberapa langkah untuk langsung mendekap tubuh Raline.

Melihat perlakuan Nevan, Raline bingung bukan kepalang. "Nev, ngapain?"

"Memastikan sesuatu," kata Nevan sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Raline.

"Maksudnya?"

"Memastikan kalau hati kamu tetap punya aku meskipun kamu habis jalan sama dia."

Ah, Raline mengerti sekarang. Sedetik kemudian, senyum Raline mengembang lagi, dia membalas pelukan Nevan sembari menepuk punggung kokoh itu menenangkan. "It's yours, Nev."

"Aku takut banget, Ra."

"Maaf, tadi Papa yang minta, aku nggak bisa nolak."

"Jadi, dia menang di hadapan Om Abrar?"

Belum. Raline pikir belum waktunya memberitahu Nevan kalau sebenarnya papa-nya ada di pihak laki-laki itu. Setidaknya sampai masalahnya dengan Farel selesai.

"Tapi, kamu menang di hati aku," jawab Raline.

Nevan diam. Pikirannya berkecamuk. Raline tahu itu, tapi dia belum berniat meluruskan.

Mereka berdua larut dalam pelukan nyaman hingga belasan menit, sampai tidak menyadari kalau mereka menjadi tontonan semua orang yang berada di lantai dua.

Revoir (Tamat)Where stories live. Discover now