Prolog

3.8K 205 87
                                    

Matahari baru saja tenggelam ketika seorang perempuan yang sejak tadi sibuk membaca buku kedokteran di ruang kerjanya kini berdiri untuk membuka jas putihnya karena ingin pulang.

Namun, hal itu tidak sempat terealisasikan karena suara pintu ruang kerjanya yang tiba-tiba terbuka, menampilkan wajah cemas asistennya.

"Kenapa?" tanya perempuan itu.

"Dokter Raline, kondisi tubuh Bu Ana semakin melemah. Sebaiknya anak di dalam kandungannya kita lahirkan sekarang dengan cara operasi."

Raline menatap Daisy—asisten sekaligus temannya karena umur mereka hanya berbeda beberapa tahun saja—kemudian berkata, "Minta persetujuan keluarganya, kemudian siapkan ruang operasi. Saya akan segera berganti baju dan menuju kesana."

Di rumah sakit, mereka memang selalu berbicara dengan formal demi menjaga profesionalitas. Lain halnya di luar rumah sakit, mereka adalah teman yang akan dengan senang hati saling adu mulut.

Daisy mengangguk, ia langsung berlalu dari hadapan Raline. Raline pun segera bersiap, membuka jas putihnya dan berganti baju dengan setelan hijau khas untuk ruang operasi.

Raline baru saja ingin keluar dari ruangannya ketika tiba-tiba ponsel yang ada di sakunya berbunyi nyaring menandakan panggilan masuk.

Farel is calling...

Mendesah pelan, Raline mematikan ponselnya segera. Dia heran, mantannya itu sudah punya pacar tapi masih gencar sekali mengejar Raline agar kembali padanya. Tidak kah sekali saja dia memikirkan perasaan pacarnya?

Bahkan seingat Raline, Farel pernah bicara padanya soal laki-laki itu mencintai keduanya. Tapi, jika Raline ingin kembali padanya, maka tentu saja dia memilih Raline. Dia sudah susah payah mengusahakan agar Raline kembali padanya.

Dasar gila.

Sedetik kemudian, Raline tersadar. Dia harus segera melakukan operasi karena kondisi pasiennya sudah melemah. Pasti keluarga pasien juga sudah setuju.

Setelah menyiapkan ancang-ancang, Raline berlari cepat menuju ruang operasi. Mungkin jika dia sedang berada di mall orang-orang akan bingung, namun kini dia berada di rumah sakit dengan setelan operasi. Semua orang jadi memaklumi.

Sial. Karena terlalu terburu-buru, Raline malah menabrak orang di lorong rumah sakit hingga orang itu tersungkur di lantai.

"Maaf, saya buru-buru operasi pasien. Kalau ada yang terluka boleh temui saya beberapa jam lagi, tanya saja di meja informasi dimana ruangan Dokter Raline. Raline Deolinda," kata Raline cepat tanpa membantu dan menatap orang yang ia tabrak.

Setelah itu, Raline kembali berlari menuju ruang operasi. Raline tidak sadar kalau orang yang tadi ia tabrak bahkan belum berdiri sampai lima menit kemudian karena terlalu syok.

Long time no see, Ra. Semoga ini takdir kita.

***

Hai!

Seperti yang sudah aku tulis di deskripsi, cerita ini adalah sequel dari cerita 'RALINE' tapi masih bisa dibaca secara terpisah.

Disini aku pakai latar yang berbeda dari cerita sebelumnya, bukan anak SMA lagi.

Sejujurnya di ending cerita 'RALINE' banyak yang lebih memilih extra part daripada sequel, tapi aku udah memikirkan semuanya dengan matang. Aku lebih milih bikin sequel.

Mungkin, karena dari awal aku bikin kerangka cerita 'RALINE' ya endingnya harus begitu aja. Hanya tentang Raline sendiri.

Aku juga ragu sih sequel ini bakal diterima oleh kalian, makanya aku coba up prolognya dulu hehe kalau kalian minta lanjut, maka akan aku lanjutkan nanti.

Jadi, selamat membaca dan jangan lupa beri saran harusnya aku lanjut sequel ini atau enggak. Thankyou!

Revoir (Tamat)Where stories live. Discover now