Darling! [37]

21.7K 3.4K 273
                                    

"It would be a privilege to have my heart broken by you."

(The Fault In Our Stars)


Rhea memilih tidak merespons pertanyaan aneh itu. "Kenapa kamu berhenti meneleponku dan malah menghubungi papaku?"

"Kamu, kan, sudah mengaku pada mamamu kalau kita sedang dekat. Selain itu, aku nggak mau orang tuamu cemas atau mengira aku punya maksud jahat padamu. Hal-hal kayak begitu, deh. Makanya, kupikir nggak ada salahnya bicara pada papamu. Idealnya, sih, bertemu langsung. Tapi, karena aku harus terbang ke Rusia, apa boleh buat!"

Dexter mencubit hidung Rhea dengan tangan kirinya yang bebas dan membuat perempuan itu mengaduh. "Selain itu, aku juga harus memastikan kalau orang tuamu tahu apa yang terjadi di antara kita. Supaya kamu nggak disuruh ikutan kencan buta lagi pas aku nggak ada di sini."

Perempuan itu menelan ludah, menahan serbuan rasa jengah yang memanaskan pipinya. Dia dan Dexter masih saling tatap, dengan wajah hanya berjarak beberapa sentimeter. "Kenapa kamu berhenti meneleponku?" tanyanya setelah memberanikan diri.

"Kamu kira aku nggak pengin terus mengganggumu? Tapi, akhirnya aku berubah pikiran. Aku nggak mau kamu jadi merasa makin kesal. Jadi, aku lebih suka memberimu sedikit waktu. Karena pada akhirnya aku tetap akan datang dan membereskan masalah kita."

Rhea sungguh merasa bingung. Dia tidak tahu bagaimana menyikapi kata-kata Dexter. Lidahnya mengebas. Namun, sebelum Rhea membuka mulut, Dexter kembali bersuara.

"Rhea, kamu setuju kita pacaran, kan?" Nada suara lelaki itu terdengar mendesak. Rhea pun segera diingatkan akan kalimat mengejutkan dari Dexter tadi.

"Aku ... nggak tahu," Rhea menunduk. Namun, tangan kiri Dexter malah memegang pipinya, meminta perempuan itu memandang ke arahnya. "Kamu memang laki-laki yang paling dekat sama aku selama ini," Rhea berdeham, teringat kembali ciuman yang pernah mereka bagi. "Tapi, bukan berarti kita harus pacaran, kan? Aku ... entahlah, Dex. Apa kamu yakin memang ingin pacaran sama aku? Bukan sekadar jadi pasangan yang menemanimu datang ke acara yang harus kamu hadiri? Perjanjian awalnya seperti itu, kan?"

"Aku yakin sama keinginanku, sama perasaanku. Kalau nggak ada sesuatu yang kurasakan di sini," Dexter menunjuk dadanya, "aku nggak akan mengajakmu pacaran, Rhea."

Mendengar kalimat itu disuarakan oleh laki-laki yang sudah membawa pergi hatinya, Rhea sempat termangu. Karena dia tidak benar-benar yakin jika sudah mendengar kalimat yang tepat. "Sejak kapan?"

"Sejak aku menciummu. Dan kamu mengomel kalau kamu bukan tipe perempuan yang dengan mudah mencium laki-laki. Bla bla bla. Toh, pada kenyataannya itu sudah terjadi. Nggak ada yang bisa kulakukan lagi. Jadi, aku memilih untuk mengambil tanggung jawab. Aku telanjur menciummu, kamu nggak terbiasa dicium sembarangan orang. Makanya, aku lebih suka menjadi pacarmu. Aku nggak mau jadi 'sembarang orang' buatmu."

Bukannya bahagia, Rhea kini benar-benar kesal. "Kamu mau jadi pacarku hanya setelah menciumku? Alasan macam apa itu? Kamu kira aku mau?" katanya marah. "Kenapa, sih, kamu datang dan mengacaukan hidupku?" Rhea akhirnya malah terisak. Semua emosi yang menyiksanya selama dua bulan ini, pecah lewat tangis yang meluncur tanpa bisa dikendalikan.

"Maafkan aku. Aku keterlaluan, ya? Maaf ...." Dexter tampak panik. Lelaki itu sibuk menghapus air mata Rhea dengan kedua tangannya. "Jangan menangis, dong, Beau. Duh, kok, jadi begini, sih? Aku nggak mau melihatmu sedih. Aku serius, Rhea."

Perempuan itu berpura-pura tidak mendengar kata "Beau" yang membuat pipinya membara. "Kamu itu selalu ...."

"Sshhh ... maaf. Kata-kataku mungkin kamu anggap keterlaluan. Tapi, aku serius, Rhea. Aku nggak mau jadi 'sembarang orang' buatmu," ulangnya.

Oh, Darling! [The Wattys 2021 Winner - Romance]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang