Darling! [30]

21.4K 3.3K 292
                                    

"The only way you can beat my crazy was by doing something crazy yourself. Thank you. I love you. I knew it the minute I met you. I'm sorry it took so long for me to catch up. I just got stuck."

(The Silver Linings Playbook)


Dexter memang bukan orang yang mudah diabaikan, Rhea harus mengakui itu. Pria itu sangat gigih dan enggan ditolak. Menelepon? Entah berapa puluh kali dia melakukan itu esoknya. Bahkan hingga berhari-hari setelahnya. Rhea mensyukuri jadwal balap Formula One yang padat, membuat Dexter tidak bisa berlama-lama berkeliaran di Jakarta. Dia tak berani membayangkan jika lelaki itu tidak harus terbang meninggalkan Jakarta.

Donald yang memiliki tatapan dan insting yang kadang lebih tajam dibanding silet pun tak ketinggalan ambil bagian untuk membuat Rhea kehilangan kata-kata. Pertanyaannya tentang kelanjutan kunjungan Dexter serta "kecurigaan" melihat lelaki itu menggandeng perempuan jangkung yang wajahnya tak terlihat jelas di acara Albert Swain, pura-pura tidak didengar Rhea. Untungnya lelaki itu bersedia mengalah dan tak lagi berusaha mencari tahu.

Bukan berarti Rhea ge-er dan mengira Dexter akan mati-matian berusaha menemuinya. Namun, melihat lelaki itu tidak putus asa mencoba menghubunginya meski teleponnya tak pernah diangkat, memberi sinyal tertentu, kan?

"Rhea, punya waktu sebentar? Papa baru pulang, ada yang pengin dibahas," kata ayahnya saat Rhea mengangkat telepon.

Rhea yang baru selesai mandi dan sedang berada di kamarnya, menekan rasa herannya. "Lima menit lagi aku ke ruang kerja Papa," janjinya.

Biasanya, ayah Rhea bersabar menunggu putrinya turun untuk makan malam jika ingin membahas sesuatu. Atau menunda hingga esok harinya jika waktunya sudah terlalu malam. Tidak punya waktu untuk menebak-nebak, Rhea menyisir rambutnya dengan cepat meski sempat meringis karena ada bagian yang kusut.

"Papa sudah makan?" tanya Rhea begitu membuka pintu dan berhadapan dengan ayahnya yang sedang duduk di sofa sambil bersandar.

"Nanti saja. Papa belum lapar. Sini!" Lelaki itu melambai, meminta putrinya duduk di sebelahnya. "Maaf, Papa nggak bermaksud mau ikut campur. Tapi, Papa ingin tahu sejauh apa hubunganmu sama Dexter. Mama sih sudah cerita cukup banyak. Tapi Papa pengin tahu langsung darimu, Nak."

Rhea melongo. Dia duduk dengan tubuh lemas karena tidak mengira ayahnya akan menyebut nama Dexter. "Belum jauh, Pa. Sama seperti yang aku ceritakan pada Mama. Kemungkinan besar nggak akan ke mana-mana," balasnya kemudian. "Eh, Mama belum pulang, ya?"

Ayahnya menggeleng. "Mama mau makan malam bersama tante-tantemu."

Rhea kian tak bertenaga. Dia sudah bisa menebak apa yang terjadi. Namanya dan Dexter akan banyak disebut dalam acara itu. Ibunya sangat kaget dengan pengakuannya dan sudah pasti tidak mau menyimpan kejutan itu sendirian. "Mama kadang bereaksi berlebihan. Aku sudah bisa ...."

"Nggak usah cemas! Papa sudah bilang supaya jangan membahas masalah kamu dan Dexter. Belum saatnya."

Rhea memandang ayahnya dengan rasa syukur yang besar. "Terima kasih, Pa."

Ayahnya mengangguk. "Nah, sekarang bisa cerita, kan?"

Mau tak mau Rhea pun mengulang cerita yang pernah dituturkannya pada sang ibu. "Di luar semua itu, kami berteman, Pa. Mungkin awalnya memang aneh, bertemu dan berkenalan langsung pun gara-gara masalah Ellen. Tapi, aku merasa nyaman."

Rhea nyaris tersedak saat menyadari kalimat yang baru saja diucapkannya. Benarkah dia merasa nyaman dengan si Monster itu? Perempuan itu menelan ludah, tak sanggup menemukan alasan untuk membantah kata-katanya sendiri. "Apa ada masalah, Pa?" tanyanya kemudian. "Karena seharusnya kita nggak perlu membahas masalah ini."

Oh, Darling! [The Wattys 2021 Winner - Romance]Where stories live. Discover now