Darling! [9]

28K 3.6K 32
                                    

"I've come here with no expectations, only to profess, now that I am at liberty to do so, that my heart is, and always will be yours."

(Sense and Sensibility)


Rhea menukas cepat. "Pa, tolong jangan berpikir gitu! Itu risikoku karena bersaudara sama Ellen. Sudah ah, kita nggak usah ngomongin masalah itu lagi," pinta perempuan itu sungguh-sungguh. Dia tak ingin ayahnya memikirkan tambahan problem yang sebenarnya tak perlu. Rhea benar-benar lega saat Irvan menurut dan mau membelokkan topik pembicaraan. Keduanya berdiskusi panjang selama puluhan menit.

"Mama gimana, Pa? Aku memang sengaja agak menghindar. Bukan apa-apa, aku ...." Rhea seperti melamun. "Aku nggak tega melihat Mama. Pasti kaget banget karena nggak menduga ini akan terjadi."

Ayahnya memberi anggukan. Mata pria itu tampak menerawang, menyiratkan beban yang coba untuk disamarkan. "Mama memang sangat kaget. Hari pertama, nyaris nggak tidur sampai pagi. Tapi, Papa bersyukur karena Mama nggak sampai ... yah, kamu tahu seperti apa mamamu. Setidaknya Mama masih bisa menahan diri." Pandangan lelaki itu beralih ke wajah putri bungsunya.

Rhea menjawab, "Iya Pa, aku lega soal itu."

"Kamu kan tahu sendiri gimana sayangnya Mama sama Ellen. Apalagi Mama sedang benar-benar bahagia karena akhirnya ada putrinya yang akan menikah. Belakangan ini yang dibicarakan mamamu cuma tentang pesta pernikahan elegan untuk Ellen. Bayangkan saja perasaannya saat tahu kalau pesta yang indah itu terpaksa batal karena putrinya memilih kawin lari. Bahkan sampai sekarang nggak bisa dihubungi."

Rhea menggigit bibir bawahnya, mencegah rasa pedih menjalar hingga ke matanya. Dia tidak ingin menangis di depan ayahnya.

"Papa sudah nggak tahu harus melakukan apa. Ellen benar-benar nggak mau ditemukan. Papa sangat berharap kalau dia bisa menggunakan akal sehatnya dan segera menghubungi kita."

Nyatanya, itu cuma menjadi harapan kosong. Batas waktu yang ditentukan Dexter sudah berlalu. Dan di pagi pertama setelah tenggat waktu, Rhea bangun tidur dengan tubuh berkeringat dan ingatan samar-samar tentang sebuah mimpi buruk. Lelaki itu tampaknya sudah membuat Rhea benar-benar ketakutan walau dia tak pernah menunjukkan perasaannya.

Rhea berangkat ke kantor dengan kegairahan yang hanya sedikit berada di atas titik nol. Sedikit rasa lega menyelusup saat dia ingat bahwa Dexter tidak mengetahui nomor ponselnya. Setidaknya, itulah yang diyakininya. Kadar keimanan Rhea sepertinya mengalami peningkatan karena dia nyaris tidak berhenti berdoa sejak membuka mata. Berharap Tuhan mengambil semua ingatan Dexter akan Ellen dan dirinya. Andai Dexter sudah menemukan perempuan cantik lainnya untuk dijadikan kekasih, itu malah lebih baik lagi.

Rhea mulai optimis jika Tuhan mengabulkan doanya. Hari itu berlalu dengan damai, tidak ada insiden apa pun yang berhubungan dengan Dexter. Ketika dia bersiap pulang dari kantor, magrib baru saja usai.

Rhea yang sedang membuka pintu mobil, mendadak menjerit karena seseorang menarik lengan kanannya. Namun, sebesar apa pun rasa takut yang dirasakannya, tidak mampu menyaingi kengerian sesungguhnya saat melihat Dexter berdiri di depannya. Hanya ada jarak beberapa sentimeter di antara mereka. Rhea ingin mundur, tapi punggungnya sudah menyentuh bodi mobil. Perempuan itu tak bisa ke mana-mana.

"Kamu itu bikin kaget saja!" protes Rhea sambil memegangi dadanya dengan tangan kiri. Kedua alisnya terangkat dengan gaya angkuh.

"Sudah seminggu," Dexter mengingatkan.

Mendadak, rasa takut membuat tungkai Rhea bergetar. Wajah tanpa ekspresi Dexter membuat tubuhnya memproduksi keringat dalam jumlah berlebihan. Punggung Rhea terasa basah dan melembapkan blusnya.

Oh, Darling! [The Wattys 2021 Winner - Romance]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang