Darling! [35]

20.9K 3.3K 240
                                    

"They say when you meet the love of your life, time stops, and that's true."

(Big Fish)


Kembali ke kantor, Rhea menyelesaikan pekerjaannya dengan pikiran kusut. Isi benaknya membidas ke sana dan kemari tanpa henti. Memantul dari satu titik ke titik lainnya. Rhea tahu bahwa Ellen sering mengambil keputusan terburu-buru. Makanya dia begitu cemas ketika tahu kakaknya kawin lari. Pertanyaan yang pernah begitu nyaring bergema di kepalanya pun, akhirnya terjawab. Hanya butuh tiga bulan bagi Ellen untuk menyerah.

Rhea tidak tahu kenapa kakaknya tidak juga belajar untuk lebih bijak. Ellen sudah sangat matang, nyaris tiga puluh tahun dalam waktu beberapa bulan lagi. Sayang, Ellen tak juga mampu mengendalikan diri dan menahan bibirnya dari mengucapkan kalimat provokatif yang bisa membuat orang tua mereka terkena penyakit jantung. Ellen, entah bagaimana, selalu merasa berhak mendapatkan semua keinginannya.

"Ada apa dengan Ellen? Bukannya masih tergolong pengantin baru? Tapi, kok nggak kelihatan jejak bahagianya, ya?" Mata awas Donald pun menangkap sesuatu yang tak beres.

Rhea memandang Donald dengan tatapan putus asa. Kalimatnya pun meluncur begitu saja. "Entahlah, aku sendiri nggak tahu. Mungkin ada masalah dengan definisi 'bahagia' buat kakakku. Gila kalau dia kira aku bisa membantu memecahkan problem rumah tangganya. Tahu apa aku? Punya pacar yang serius saja nggak, bagaimana bisa mau ngasih opini untuk urusan rumah tangga? Itu wilayah asing." Perempuan itu meremas rambutnya. "Aku sendiri punya problem yang memusingkan dan belum kelar sampai sekarang. Mana aku bisa membantu membereskan masalah Ellen?

Donald memandang Rhea dengan penuh pengertian. "Kamu nggak biasanya mengoceh panjang kayak barusan. Apa rasanya terlalu berat? Sudah nggak bisa lagi bertoleransi?" tanyanya dengan suara rendah.

Rhea tidak menjawab sama sekali. Wajahnya terlihat muram. Sementara bayangan gelap di bawah mata menunjukkan bahwa perempuan itu kekurangan waktu istirahat.

"Oke, aku nggak akan tanya apa pun lagi. Aku cuma mau bilang, kadang kamu memang terlalu baik, nggak bisa menolak dengan tegas. Itu yang jadi kelemahanmu. Harusnya nggak boleh kayak begitu. Gimana pun juga, ada saatnya untuk berhenti menuruti kemauan orang. Kamu cuma perlu tahu kapan saat yang tepat untuk bilang tidak."

"Terima kasih, Donald," katanya tulus. "Aku lagi banyak pikiran. Butuh waktu untuk membereskan problemku sendiri. Aku nggak tertarik ikut campur urusan kakakku."

Donald tiba-tiba memandangnya penuh arti. Tatapan yang membuat Rhea salah tingkah. Lelaki itu menaikkan alisnya. "Kamu boleh saja nggak mau mengaku pada dunia, tapi aku punya indra pendeteksi yang sangat canggih. Dua bulan ini aku pura-pura bodoh. Waktu kutanya dan kamu nggak mau menjawab, aku sudah punya firasat. Tapi, okelah, aku mengalah."

Donald menggerakkan kursi berodanya, mendekati tempat duduk Rhea. Perempuan itu berpura-pura sibuk dengan tumpukan dokumennya yang tinggal sedikit. Dia sudah bisa menebak apa yang akan diucapkan Donald.

"Sudah, deh, jangan menginterogasiku. Ini bukan waktu yang pas," balasnya tanpa mengangkat wajah. Kendati kalimat Rhea bernada protes, Donald tak peduli.

"Ada beberapa kejadian yang rasanya terlalu kebetulan. Apalagi setelah ada foto Dexter menggandeng perempuan asing dan nggak lama kemudian berita pernikahan kakakmu. Aku sudah bisa menebak siapa yang digandeng Dexter meski nggak ada yang mau mengaku." Donald berdeham pelan. "Setelah mati-matian menghindari si pembalap, apa yang terjadi?"

Rhea memaksakan tawa yang terdengar sumbang, bahkan di telinganya sendiri. Rasa sedih pun menyergapnya. Pertahanan dirinya mengendur begitu saja karena kata-kata Donald.

Oh, Darling! [The Wattys 2021 Winner - Romance]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang